Dear, September: MONOLOGUE

908 86 257
                                    

Ada yang salah.

Kuperhatikan secara lekat hasil makna dari serangkai kata dalam pesanmu semalam, dan efek tersiratnya yang masih menggantung dalam pikiranku pagi ini. Jelas ada yang salah.


"Aku ingin menghabiskan waktu denganmu."


Awalnya sebaris pesanmu tak begitu mencuri atensiku. Namun mengingat kau yang meninggalkanku tanpa jejak selama dua minggu, itu jelas bukan pesan gurauan yang lucu.

Sebelumnya akan kuperkenalkan. Kau, yang sejak kita berumur sembilan bulan dalam kandungan, kukenal sebagai bocah lelaki bernama J. Dengan tinggimu yang mencolok dan sepasang kelopak kecilmu di balik kaca-mata tanpa lensa yang selalu kau kenakan, membuat sesama temanku sering meledekmu. Kukira kau takkan bermasalah dengan itu, namun lambat laun kau menjadi lebih pendiam dari yang sekadar kukenal. Dan sisi pendiam yang terus kau biarkan lambat laun menjadi sesuatu yang salah.

Kau menjadi seorang lelaki yang tertutup, bahkan padaku, sahabat dekatmu sendiri.

Jika umumnya orang akan bercerita panjang lebar dikali tinggi seperti rumus matematika ketika mereka sedang dilanda berkah masalah, maka kau sebaliknya. Ketika kau seharusnya mengeluh padaku tentang masalahmu, kau malah diam dan meninggalkanku tanpa sepatah pun kabar. Seperti dua minggu lalu, seperti sekarang.

Namun aku mengenalmu, dan tersebab itulah kau kubiarkan. Aku tetap membiarkanmu pergi sesukamu meski kutahu itu bukan hal yang wajar. Kau butuh waktu, setidaknya aku selalu berkata begitu untuk berdamai dengan pikiran kacauku. Lagipula kau akan kembali padaku dan bercerita kalau kau sudah merasa mau.

Dan ini sudah dua minggu. Aku selalu bertanya-tanya kapan kau akan kembali menghampiriku dan bercerita. Kau tahu ini rekor terlama yang berhasil kau pecahkan seumur hidupmu menjauhiku. Ini rekor pertamamu membuatku merasa khawatir hingga tak mampu mencerna seluruh waktu senggangku.

Maka ketika semalam pesanmu mendarat dengan mendadak dalam ponselku, pikiranku langsung berantakan. Perasaanku tak karuan, bahkan meski hanya sebaris kalimat itu yang kau kirimkan. Kau ingin menghabiskan waktu denganku. Tapi kapan? Dimana? Sebenarnya ada apa? Dan kau sama sekali tak memberi balas pada pertanyaanku dalam pesan-pesan berikutnya. Bahkan aku buru-buru membuka pintu dan mencarimu di sepanjang jalan dekat rumah, berpikir kau mungkin sempat mampir.

Namun tidak. Semua nihil.

Bus kedua telah lewat dan memecah atensi berceritaku barang sepuluh detik. Benar, sedari tadi aku bercerita memperkenalkanmu sembari menunggu bus menuju sekolah seperti biasa. Namun sudah dua bus kulewatkan, sedang jarum jam semangat sekali berlari menjejak angka tujuh dan dua belas. Aku terlambat, demi mencerna maksud pesanmu. Dan aku tidak menyesal karena itu. Lebih baik kuhabiskan pikiran kacauku di sini, daripada aku harus merepotkan guru Bahasa Indonesia dengan memberiku hukuman dan naik tensi.

Namun percayalah, di hari biasa yang normal aku tidak pernah merasa sebaik-hati dan sebodoh ini. Membolos bukan kebiasaanku, dan kini aku menginginkan untuk mencobanya barang sekali.

Entah, aku hanya ingin.

Sementara kebodohan membungkusku, irisku terus terpaku pada setiap kata dalam pesanmu. Aku ingin menghabiskan waktu denganmu bukanlah kata yang rumit untuk dicerna. Namun latar belakang mengapa kau menuliskannya, aku masih tak bisa menerka.

"Hei!" Hingga suara serak yang kukenal serasa memegang bahuku sejenak kemudian, menyentuh titik refleks hingga aku langsung menoleh.

Dan terkesiap.

CATATAN KECILTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang