Ayam berkokok, diikuti kicauan burung memeriahkan hari menyambut datangnya pagi. Dengan mata masih tertutup, aku meraba nakas guna mematikan alarm yang memekikkan telinga. Menyingkirkan selimut yang menutupi tubuh lalu mendudukkan diri diatas tempat tidur.
Aku memandang sebuah bingkai kecil dimana terdapat foto tiga orang gadis juga dua orang pria yang sedang tersenyum bahagia.
Sayangnya, mata ini hanya terfokus pada satu objek dimana itu adalah masa lalu yang sangat ingin aku lupakan hingga detik ini.
Aku tersenyum kecut, "Apa kabar? Sepertinya kamu baik - baik saja. Ah tidak, kamu memang baik - baik saja. Kamu tau bagaimana perasaanku saat aku bertemu denganmu? Bertatap muka denganmu? Melihat senyum indahmu dimana dulu milikku namun sekarang milik seorang wanita cantik yang datang bersamamu? Memesan gaun serta jas dariku, dan memintaku untuk medesainnya sendiri? Bahkan, detik itu juga, dengan senang hati aku merobek semua kertas yang terdapat goresan demi goresan hasil imajinasiku."
"Disini..." ucapanku berhenti lalu menunjuk dimana hati berada. Mataku sudah banyak menghasilkan genangan air di pelupuk, bersiap meluncur.
"Rasanya seperti sebuah kertas yang diremas lalu dibuang begitu saja." satu tetes airmata berhasil lolos.
"Tak bisa dipungkiri, aku bahagia ketika tahu kamu ada di dekatku, tetapi tetap saja aku merasa sakit. Sakit ketika kamu tidak datang sendiri, sakit karena kamu dengan mudahnya melupakanku, sakit mengetahui hanya aku yang merindukanmu sendirian..."
"...Aku harus apa ren, apa yang harus aku lakukan? Aku ingin kamu bahagia meskipun bukan aku adalah alasan kebahagiaanmu, tapi di sisi lain, aku ingin membuatmu bahagia karena aku. Hanya aku ren. Hanya aku."
DDDDRRRTTTT DDDRRRTTTTTT
Getaran ponsel diatas nakas membuyarkan padanganku. Membuatku berdecak mencoba berpikir siapa dalang yang berani menelpon pada dini hari.
Aku meraihnya kasar, sederet nama yang tertara mampu membuat darahku mendidih.
"Ada apa?" serbuku setelah menggeser tombol hijau.
"Selamat pagi tuan putri~. Bagaimana tidurmu semalam? Apakah nyenyak?"
See, bukannya menjawab ia sengaja mengabaikan pertanyaanku. Mungkin dia tahu kalau aku akan memarahinya karena perbuatan yang ia lakukan.
Aku memutar bola mata malas, "Itu semua bukan urusanmu. So, ada apa menelponku jam segini?"
Melirik jam besar yang terpasang di dinding dekat pintu. Kedua mataku membola saat melihat jarum pendeknya menujuk angka 5 dengan jarum panjang diangka 3.
"Demi apapun ini baru jam 5 lewat 15 menit bapak Ricky yang terhormat." Erangku frustasi.
Telingaku mendengar kekehan dari ujung sana. Oke fiks, ingatkan aku untuk membunuh orang ini saat bertemu nanti.
"Jika tidak ada yang ingin dibicarakan, saya akan menutup telpon ini." Sungguh, moodku sudah cukup hancur kemarin, dan sekarang bertambah hancur karenanya.
"Tunggu. Hari ini biar saya yang mengantar. Seperti biasa saya tidak menerima penolakan." Perintahnya mutlak.
"Hmm."
KAMU SEDANG MEMBACA
For You [HIATUS]
Teen FictionBagaimana rasanya jika pekerjaanmu berbading terbalik dengan ketakutanmu? Bagaimana rasanya jika pekerjaanmu membuatmu bertemu dengannya kembali? Bagaimana rasanya jika dia kembali dengan wanita pilihannya dan memintamu membantunya menyiapkan pernik...