Nafasku memburu dan dadaku terasa sesak, berat, dan sulit untuk bernafas. Aku berlari, berlari, dan terus berlari melewati lorong gelap tak berujung ini. Tak adakah setitik cahaya yang dapat menuntun kakiku mendapatkan titik terang? Kakiku tak kenal lelah memacu kecepatan melewati lorong ini. Kulihat bayangan pria itu yang terus mengejarku. Tolong! Tolong aku! Jangan biarkan aku menderita! Kumohon!
"Bella? Bella? Bella bangun Bella!" kudenger samar - samar suara berat diluar sana. Ingin rasanya kumenjerit kali ini, tapi seakan suaraku tak dapat keluar. Tubuhku terguncang, dan semakin terguncang hingga ku menghela nafas panjang sebelum mataku terbelalak membuka. Apa aku masih hidup? Dimana aku? Dad? Apa ini Daddy? Semua pertanyaan terus menggelayuti pikiranku dan mataku menjelajah isi ruangan. "Sadarlah nak, ini Daddy." bisikan itu terdengar lembut di telingaku. HUFT!! Well, aku masih hidup dan ini pasti kamarku. "Kamu pasti mimpi buruk lagi kan? Sudahlah Bel, tak usah kau ingat terus masa lalu itu. Semua itu hanya akan semakin membuatmu menderita. Dad tau, ini berat untuk dilupakan. Aku pun tak dapat seutuhnya benar-benar melupakannya. Dad mencintainya Bella, sangat mencintainya. Dad rela mengorbankan apa saja untuknya. Bahkan jika ada cara lain utnuk menukarnya nyawaku untuknya, Daddy rela. Asal kalian bahagia."
Dad mengelus rambutku lembut. Tatapanku hanya tertuju pada tetesan air hujan yang mengguyur kota Sydney, Australia malam ini pada kaca jendela kamarku. Aku benar-benar tak tahu apa yang harus aku lakukan. Pikiranku kalut. Aku tak dapat berpikir jernih dan selalu saja seperti itu. Kurasa setetes air membasahi puncak kepalaku. Kudongakkan kepalaku. Dad? Dad kenapa? Kulihat wajahnya kacau. Matanya berkaca-kaca dan setetes buliran air mata itu turun kembali dan kali ini mengenai pipiku.
Lidahku kelu dan tak dapat berbicara. Ingin rasanya aku menjerit melihat Daddyku seperti ini. Tapi NIHIL, tidak ada satu kata pun yang dapat terlontarkan dari bibirku. Kuhapus air mata yang mengalir dipipinya. Aku tak pernah melihat Daddyku sebegitu terpukul seperti ini. Tidak juga saat kepergian Mom untuk selama-lamanya. Kemana Daddyku yang selalu tegar? Kemana Daddyku yang selalu memberiku semangat yang tiada hentinya? Kemana? Kemana Tuhan?
Dad mendekap tubuh mungilku dan mengecup puncak kepalaku. Membisikan sepatah kalimat yang sama dan kali ini begitu terasa berbeda "Bella, Daddy mencintaimu."
"Cepatlah tidur sayang. Ini sudah lewat tengah malam." Dad bangkit dari kasurku untuk mematikan lampu dan segera kembali ke kamarnya.
Hujan tak enggan berhenti dan aku terduduk di bawah jendela kamar dengan tirai terbuka hingga kilatan cahaya petir yang menyambar itu dapat memasuki ruangan. Kudekap lututku rapat-rapat dan kubenamkan wajahku. Tubuhku bergetar hebat, menggigil, dan terguncah. Kini buliran air mataku tak dapat terbendung lagi. Air mataku turun semakin deras ditemani oleh derasnya hujan yang turun malam ini dengan kilatan petir yang mengerikan di langit sana.
'''''
Tak terasa, pantulan sinar mentari pagi ini telah memenuhi seluruh isi ruangan. Namun bayangan menyeramkan itu masih saja termemori dalam ingatanku. Malam itu, malam yang sangat mencekam terus menghantui jiwaku. Setiap jeritan demi jeritan yang masih saja terdengar begitu jelas di telingaku. Suara decitan lantai yang bergesekkan dengan tubuh yang tergolek lemah. Suara derap langkah berat yang semakin mendekat sangatlah jelas. Semua ini seperti imajinasi dalam dunia fiksi yang tak pernah terjadi. Bagaikan putaran masa lalu suram yang akan semakin mengejar kita jika kita berusaha berlari menjauhinya. Semua ini. Semua ini terasa semakin begitu nyata dan masih membekas lekat-lekat dan terus berotasi dalam pikiranku.
Basah. Sesuatu yang basah dan hangat melewati pipi mulusku. Buliran air mata yang baru saja mengering itu kembali menetes pada lantai tempat dimana aku terduduk disana. Tubuhku kembali bergetar, gigiku saling bergemeletuk menahan tumpahan air mata yang terlanjur membanjiri pipiku. Hentakan berat pada bahuku membuatku ketakutan dan terlonjak kaget sebelum akhirnya kudapati wajah Dad dihadapanku. "Sssttt, ini Dad, Dear." kata Dad mencoba menenangkanku dan mengusap pipiku lembut. "Kau menangis?" tanya Dad menatapku lekat-lekat. Aku masih terdiam membalas tatapan Dad yang semakin dalam.