Devian's Family

70 11 3
                                    

Devian kaget saat melihat Sandra yang ternyata belum beranjak dari meja makan. "Lo kelaperan ya?" Devian hanya memutar bola matanya.

"Lanjutin aja makannya, gue ke kamar dulu, nanti abis itu gue bayar lo." Sandra beranjak dengan muka yang datar, tidak seperti saat di sekolah tadi. Dia ingin terlihat cool di depan Devian.

"Sandra tunggu," Sandra yang membelakangi Devian begitu senang karena Devian memanggil namanya.

"Iya," sahutnya.

"Lo ada plastik nggak?" tanya Devian.

"Buat apa?"

Devian menelan makanan yang ada dimulutnya.

"Lo kan orang kaya, nah gue boleh kan bungkus makanan ini buat orang tua gue?" Sandra tersentak, dia langsung mencari apa yang diminta oleh Devian dan kembali untuk membungkus semua makanan yang ada di meja.

"Lo gila ya? Kenapa lo bungkus semua." Sandra tidak memperdulikan ucapan Devian. Saat Sandra sedang membungkus makanan itu, mamanya sudah selesai menunaikan sholat.

"Sandra makanan ini mau di apakan?" tanya Mila bingung. " Ini tante Devian-"

"Rumah Devian deket panti asuhan mah," Sandra memotong ucapan Devian.

Mila mengangguk. "Bagus itu nak Devian, daripada makanan ini ujungnya dibuang." Devian tersenyum kecut.

"Tante saya sekalian pamit ya udah malem ini, makasih jamuannya."

Devian berpamitan kepada Mila. "Iya nak, sering-sering aja maen kesini." Devian kembali tersenyum, padahal dia paling benci melakukan hal itu.

"Ma, Sandra anterin Devian sampe pintu yaa." Sandra segera menarik tangan Devian yang masih tetap tersenyum kepada Mila sebagai tanda kesopanan.

"Mana bayaran gue?"

Sandra memberikan bungkusan makanan dan beberapa uang ke Devian.

"Thank's ya buat hari ini," Ujar Sandra.

"Hn."

Devian bergegas meninggalkan rumah sandra dan kembali ke rumahnya.

.

Devian mengembalikan angkutan kota yang tadi dia bawa untuk mengantar Sandra, kepemiliknya-Abah mamat. "Assalamualaikum bah."

Devian mengucapkan salam karena Abah Mamat adalah orang islam dan sudah dia anggap sebagai kakeknya sendiri.

"Wa'alaikumussalam, udah balik pian?" tanya Abah Mamat yang baru keluar dari rumahnya.

"Udah bah, ini uang narik angkot tadi." Abah Mamat melihat uang dari Devian dengan dibantu kacamatanya.

"Kok ini banyak banget pian?" Devian merangkul Abah Mamat.

"Tadi Pian dapet penumpang anak orang kaya bah, oiya ini makanan buat abah." Abah Mamat menolak makanan dari Devian, malah Abah mamat memberikan kembali uang Devian.

"Abah ambil segini aja, lainnya buat Devian jajan ya." Devian kembali menerima uang itu, karena dia tahu Abah Mamat tidak suka jika dia menolak.

"Abah mau makan bareng keluarga Pian?" Abah Mamat mengangguk dan Devian mengajak Abah Mamat ke rumahnya yang tidak jauh dari tempat nya sekarang.

Devian membuka pintu rumahnya yang terbuat dari papan kayu seadanya. Orangtuanya sedang menonton televisi bekas yang diberikan oleh Abah Mamat kepada mereka.

"Masuk bah," ujar Ibu Devian sambil membersihkan lantai yang terbuat dari semen kasar untuk Abah Mamat duduk.

"Mak ini ada makanan. Buat kita berempat pasti cukup kan?" Devian menyerahkan makanan dari Sandra tadi. "Ini lebih dari cukup, bentar mamak beresin terus kita makan sama-sama." Devian tersenyum melihat ibunya itu bahagia.

Setelah semua siap mereka berempat makan bersama, Devian hanya mengambil sedikit dan memakannya dengan perlahan. Devian sangat senang saat melihat canda tawa dari orang yang paling dia sayangi ini.

Walaupun hanya dengan alasan yang sederhana. Orang tua Devian makan dengan lahap. Sedangkan Abah Mamat fokus dengan makanannya.

"Pak, mak, Pian keluar dulu yaa ada urusan. Abah Mamat nggak papa kan nanti pulang sendiri?" Devian meletakkan piring bekas makannya tadi.

"Tenang aja Pian, Bah Mamat nanti bapak yang anterin."

"Jaga diri ya nak, di luar dingin pake jaketnya." Devian mengambil Jaket lusuhnya yang tergantung dibelakang pintu kamarnya. Karena lamanya jaket itu, Devian sampai tidak ingat kapan dia membeli jaket itu.

Devian mencium tangan orang yang dia sayang dirumah ini, dan bahkan didunia ini. Lalu keluar seperti yang dia katakan tadi.

.

"....."

"Eh lo, gue dirumah."

"....."

"Oke, gue jemput lo tunggu gue di tempat biasa."

"....."

Maura menutup telephonenya dan bersiap-siap untuk keluar malam ini, tidak butuh waktu lama Maura sudah siap dengan baju dan rok yang serba terbuka itu. Sudah biasa bagi kebanyakan cewek kota berpakaian seperti itu.

Apalagi jika sudah malam. Siang nya mereka bisa menjadi sosok bidadari dengan penutup kepalanya, tapi jika sudah mulai malam, siapa yang tau saat mereka berubah menjadi sosok iblis yang siap menggoda iman manusia.

Maura menyalakan mobilnya dan mengacuhkan semua panggilan dari pembantu, sopir, dan satpam rumahnya, Dia tidak peduli akan itu. Baru saja akan menjalankan mobilnya orang tua Maura datang.

"Kamu mau kemana Maura?" Tanya Papa Maura, Adrian.

"Mau keluar," ujar Maura. Adrian membuka pintu mobil Maura dan mencabut kunci mobilnya.

"Kamu nggak boleh kemana-mana." Adrian masuk kerumah dan disambut oleh para asisten rumah tangga.

"Hallo, Gue nggak bisa jemput lo malem ini kita ketemuan aja di tempat biasa."

"Oke, lo lama gue pulang."

Maura mematikan telephone nya, dan bergegas untuk kabur dari rumah. Dengan diam-diam pastinya. Setelah memastikan semuanya aman Maura keluar dari rumahnya dan memesan ojek online.

.

MIXOLOGY

Maura turun dari ojek dan membayarnya. "Neng, ini kembaliannya." Maura mengibaskan tangannya.

"Udah buat bapak aja." Maura meninggalkan tukang ojek online itu yang masih mensyukuri rejekinya itu.

Hingar bingar dunia malam langsung menyambut Maura saat dia masuk ke Bar bernama MIXOLOGY itu. Dia sibuk mencari sosok pria yang telah menunggunya ditengah redupnya penerangan di ruangan itu. Setelah beberapa menit mencari akhirnya Maura menemukan sosok yang dia cari.

"Lo, telat." Orang itu berkata sambil memutar gelas kosong yang ada ditangannya.

"Sorry honey, Papa aku pulang tadi jadi ribet dah keluarnya." Jelas Maura.

"Okelah gue butuh duit malem ini lo bisa kasih gue duit kan?" Maura menelusuri wajah cowok itu dengan jari telunjuknya.

"Gue kasih yang lo mau, dan lo kasih apa yang gue mau," Cowok di depan Maura itu memegang tangan Maura dan menyingkirkannya.

"Seperti biasa." Mereka berdua lalu memesan minuman kepada bartender dan larut dalam obrolan mereka. Semakin malam tempat itu semakin panas. Ya bisa kalian tebak lah itu karena apa.

Hooligans Vs UltrasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang