“Kita harus melakukannya. Dia sudah tidak kuat lagi, cuma ini pilihan yang ada. Alat-alat itulah yang selama ini menopang hidupnya, kau tidak ingin dia hidup dengan alat-alat itu selamanyakan?”
Ciara menyandarkan tubuhnya di dinding kaca, di seberang ruangan, orang yang dicintainya terbaring lemah. Suara-suara alat medis bergema di ruang rawat itu. Sudah lebih dari enam bulan Jamesnya dirawat disana. Koma, dan sampai saat ini tidak ada tanda-tanda keadaannya akan membaik. Selama ini alat-alat penunjang kehidupan—yang mengelilingi seluruh tubuhnya—lah yang membuatnya tetap bernafas. Dan kini dokter menyarankannya mencabut alat-alat itu, meminta Ciara untuk mengikhlaskan orang yang paling berharga dalam hidupnya.
“Ciara…” sang dokter mengusap lembut punggungnya.
Ciara menoleh, air mata berlinang tiada henti. Teringat kata-kata James dulu saat kanker ganas berhasil mengalahkannya. Ciara harus mengambil keputusan terbaik, walaupun keputusan itu merugikan salah satu pihak, itu pinta James. Tapi bagaimana mungkin Ciara membiarkan James pergi meninggalkannya. Ciara tidak mau sendiri lagi.
Dokter wanita itu tersenyum lembut. Dia mengerti beban batin yang di derita Ciara. Dia kasihan, tapi mau bagaimana lagi. Prosedur medis memaksanya untuk melakukan hal ini.
“Keputusan ada di tanganmu, nak..”
Ciara menengok ke ranjang untuk terakhir kali, dan dengan isakan tertahan, dia mengangguk pelan.
***
Dering telepon mengusik kesadaran Ciara. Dia membuka matanya perlahan. Kepalanya pening, tangannya kesemutan karena dipakai menumpu berat badannya semalaman. Dia tertidur di sofa, sinar matahari mengintip dari balik gorden yang tertutup.
Dering telepon terdengar lagi, Ciara bergegas mencari benda mungil itu dan segera menjawab telepon di seberang sana.
“Halo..” sapanya lemah.
“Kau sudah bangun putri tidur.”
Tubuh Ciara menegang.
“J…James??”
Orang disebrang sana tertawa “Bukan aku pangeran yang akan menyelamatkanmu.”
Ciara menutup telepon dan segera berlari ke kamar tidurnya. Disana dia melihat James berbaring di ranjang sambil memegang telepon, James tersenyum begitu melihat Ciara.
“Hey.. kau menemukanmu…… ada apa??” tanyanya heran saat Ciara memeluknya erat sambil menangis.
Ciara hanya menggeleng, dipeluknya tubuh kurus James, menghirup aroma tubuhnya, meyakinkan dirinya sendiri bahwa Jamesnya masih hidup.
“Sayang, kau baik-baik saja kan??” James terdengar cemas.
“Mhm..” kata Ciara, menaik tubuhnya dan memandang James. Di belainya pipi pucat James penuh sayang. Dia bersyukur semua itu tidak nyata, mimpi-mimpi buruk belakangan ini memang sering menghantuinya, sejak James di diagnosa menderita kanker ganas. Ciara terlalu sayang pada suami yang baru dinikahinya setahun yang lalu itu, dia belum sanggup ditinggal pergi.
James mengecup lembut tangan Ciara.
“lalu kenapa kau menangis?”
Ciara menggeleng, dan membenamkan wajahnya di dada bidang James. “Cuma mimpi buruk.” Katanya pelan.
“Mimpi?”
“Ya.. mimpi yang tidak penting..”
“Baiklah…” James merangkulnya erat. “Jadi, kau ketiduran di sofa lagi?”
Tersenyum. “Yah.. maaf, aku tidak menemanimu tadi malam.”
“Tidak apa. acara tv itu memang lebih menarik dari pada suami mu sendiri.” Ada nada merajuk disana.