Sudah lebih dari dua sasi, Cadasari berada di gubuk tua milik Nyi Endang Gandes. Ia datang sesuai permintaan gurunya lewat suara batin. Cadasari menuju Alas Pandan hanya dengan menunggangi kuda. Ia kembali mengenakan pakaian pendekar dengan sebilah pedang tersampir di punggung untuk menemani perjalanannya. Pakaian bagus dan perhiasan tanda kebesaran seorang permaisuri yang sudah nyaman dipakainya, dilepas dan disimpan. Sebenarnya Adipati Anggabaya heran pada istrinya dengan pakaian pendekar.
"Sebenarnya Dinda mau pergi kemana malam-malam begini?" tanya Adipati Anggabaya.
"Saya akan mengunjungi guru, dia sedang sakit," sahut Cadasari sambil melepas hiasan emas di sanggulnya.
"Gurumu sakit? Siapa yang memberitahumu?"
"Lewat suara batin, Kanda."
"Ohh...," desah sang adipati dengan sikap acuh.
Cadasari tahu pasti Adipati Anggabaya belum bisa melupakan kejadian lima warsa lalu saat gurunya meminta sang adipati untuk menjadikannya permaisuri tunggal. Bahkan Nyi Endang Gandes sendiri yang memintanya agar sang adipati mengucapkan sumpah tersebut.
"Jika dia seorang ksatria, pasti dia akan menepati janji untuk menjadikanmu permaisurinya. Dan sebelum pernikahan kalian, suruh dia untuk mengucap sumpah agar jangan pernah ada wanita lain dalam hubungan kalian," suruh Nyi Endang Gandes.
"Tapi, bukankah wajar jika seorang adipati memiliki selir?"
"Dan kau mau cinta kasih sang adipati itu tercurah pada wanita lain?" Nyi Endang Gandes melirik Cadasari dengan tajam, "setiap istri tidak ingin cinta suaminya terbagi dengan wanita lain, karena hal itu sangat menyakitkan, jangan menjadi seorang wanita yang bodoh, Cadasari," ucap Nyi Endang Gandes diiringi senyum lebar. Cadasari hanya menurut. Jujur, ia juga takut jika kasih sayang Adipati Anggabaya terbagi.
Malam itu juga Cadasari menggebah kudanya menuju Alas Pandan. Tanpa didampingi siapapun. Ia hanya membawa perbekalan yang cukup serta pakaian ganti. Setelah hampir tiga hari berkuda, Cadasari tiba di gubuk tua yang semakin reot. Kayu penyangganya sudah dimakani rayap. Wuwungan (atap) dari rumbia nampaknya tak mampu lagi menahan derasnya hujan.
"Guru!" panggil Cadasari.
Tak ada sahutan. Secepatnya Cadasari melangkah masuk dan menemukan Nyi Endang Gandes di atas pembaringan. Kondisi gurunya itu tak sesehat lima warsa lalu. Wajah pucat dengan tubuh tua yang semakin ringkih.
"Guru, apa yang terjadi? Mengapa Guru jadi seperti ini?" Cadasari berhambur lalu memeluk tubuh tua itu.
"Sepertinya dua ajian yang kukuasai saling bertubrukan di dalam tubuhku. Dan melumpuhkan tubuhku sedikit demi sedikit."
"Apa yang bisa saya lakukan agar dapat meringankan sakit yang Guru derita?"
"Aku harus melepaskan salah satu ajian yang kumiliki, tapi jangan terlalu pikirkan tubuhku, aku masih bisa bertahan. Pokoknya kau harus menguasai seluruh kemampuanku. Selama beberapa pekan ini banyak yang datang untuk membayar jasaku. Kau harus memenuhi permintaan mereka. Kau sudah menguasai segala macam ilmu pengasihan dan tenung bukan?"
Sejenak Cadasari diam lalu menggeleng.
"Jangan bohong, Cadasari. Aku tahu kau sering mengintipku saat melayani permintaan setiap orang. Kau lalu mempelajarinya lewat buku mantraku dan mempraktekkannya. Aku tahu kau penasaran terhadap ilmu yang kumiliki."
Cadasari tertegun. Rupanya selama ini Nyi Endang Gandes tahu perbuatannya. Ia memang penasaran dengan ilmu pengasihan juga segala macam tenung. Tapi ia memang tak terlalu berniat menggunakan ilmu itu kepada seseorang. Sebab Cadasari tahu ilmu tersebut dapat berakibat buruk dan menyiksa seseorang yang terkena. "Mohon ampuni saya, Guru, saya lancang," kata Cadasari sambil menghaturkan sembah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Renjana Berdarah
Ficción histórica...Tak lama terdengar suara seraknya menyanyikan tembang macapat Pangkur. Mangkono ilmu kang nyata... Sanyatane mung we reseping ati... Bungah ingaran cubluk... Sukeng tyas yen den ina... Nora kaya si punggung amung gumunggung... Ugungan sadina dina...