Namaku Amara, Amara Laraswati. Umurku 20 tahun. Saat ini aku tengah menuntut ilmu di salah satu Universitas Negeri di Jakarta dengan program bea siswa. Tujuanku meneruskan sekolah hingga ke jenjang ini tidak muluk, ingin menjadi guru. Itu saja. Mengingat aku berasal dari keluarga yang jauh dari kata mampu untuk kuliah, namun karena aku ngotot ingin kuliah dan aku berhasil ikut program bea siswa akhirnya orang tuaku menyetujuinya dan bersedia membiayaiku kuliah dengan uang seadanya.Orang tuaku tidak bisa mengirimku uang banyak tiap bulannya, karena orang tuaku sendiri dalam ekonomi yang pas-pasan. Aku jahat ya? Memaksa orang tua untuk menuruti ambisiku? Menurutku tidak terlalu. Karena aku sekolah sejauh ini karena aku ingin mengangkat derajat ekonomi orang tuaku. Aku ingin menjadi guru, menjadi pns dan mendapat gaji tetap tiap bulannya, dan saat itu aku ingin orang tuaku tak bersusah payah mencari uang untuk kebutuhan sehari-sehari.
Akan aku ceritakan mengenai keluargaku.
Ibuku-Marni adalah ibu rumah tangga yang kadang membantu tetangga membuat kue jika ada banyak pesanan dan hasil membantunya tak seberapa. Jika masih ada kekurangan untuk hari-hari ia akan gunakan dan jika tidak ia akan menabungnya untuk keperluan sewaktu-waktu.Ayahku-Hadi adalah seorang pekerja serabutan yang tak mempunyai penghasilan tetap. Pagi-pagi sehabis subuh ia pergi ke pasar pagi untuk menjadi kuli panggul sampai pukul 7 lalu ia pulang untuk sarapan atau istirahat sejenak, karena jam setengah 8 atau kadang jam 8 ia sudah harus pergi lagi bekerja. Kadang ia menjadi kuli bangunan, bekerja di ladang, pemetik daun teh atau pekerjaan seadaanya yang bisa ia kerjakan, kadang ia seharian menjadi kuli panggul di pasar hingga petang. Ia sangat bekerja keras untuk menghidupi keluarganya.
Mbak Afifa adalah kakaku. Kakak yang sangat aku sayangi, ia sangat baik dan perhatian kepada adik-adiknya, ia sudah menikah. Suaminya bernama Mas Ali, ia bekerja di pabrik teh tak jauh dari rumah dan Mbak Afifa tidak bekerja karena di larang oleh suaminya. Mbak Afifa dan Mas Ali memiliki satu orang putri bernama Alifa, umurnya 9 tahun.
Aisha adalah adik perempuanku yang masih duduk di bangku SMP. Orangnya manja sekali mungkin karena ia anak bungsu.
Dan di antara ke tiga saudara, aku lah yang paling keras kepala. Dan akulah yang paling ngotot untuk kuliah. Bahkan Mbakku saja hanya sampai SMP. Aku memang tidak bersyukur. Seharusnya aku bersyukur orangtuaku bersedia menyekolahkanku hingga SMA, tapi aku malah ngotot ingin melanjutkannya lagi sampai kuliah. Dan sekarang sepertinya aku menyesalinya.
Aku terduduk lesu di depan ruang Rektor. Barusan aku mendapat teguran karena nilai ipk ku di semester lima tak kunjung mengalami kenaikan, masih sama seperti semester sebelum-sebelumnya. Kalau dulu-dulu aku masih di tegur dengan ucapan, namun kali ini sudah di tambahi dengan tindakan dan sanksi yaitu sudah tidak izinkan lagi untuk menempati Asrama gratis yang di sediakan kampus dan beberapa pembayaran di cabut.
Kepalaku berdenyut memikirkan hal apa yang harus ku lakukan selanjutnya. Apa ku beritahu saja Ayah dan Ibu di rumah? Tapi sepertinya aku sudah sangat merepotkan sekali selama ini. Mereka mengirim uang tiap bulannya saja aku rasa mereka sudah susah payah menabungnya, dan jika kuberitahu ini sama saja menambah bebah mereka. Mereka pasti mau susah payah mencarikan uangnya, tapi aku tidak setega itu. Mereka sudah cukup baik dengan mengirimku uang 300rb tiap bulannya. Memang tak seberapa, tapi aku yakin uang 300rb bagi mereka sangat berguna.
Aku sudah pernah menyuruhnya untuk tak usah repot-repot mengirimku uang, karena makan sudah di tanggung kampus, tapi mereka bersikeras katanya untuk jajan atau keperluan mendadak. Mereka sangat baik bukan? Mana tega aku membicarakan masalah ini kepada mereka.
Aku memang bekerja pada waktu weekend di sebuah restoran mahal yang hanya membutuhkan waktu 30 menit dari Asramaku. Aku bekerja sebagai pencuci piring dari jam 6 pagi sampai jam 10 malam. Mirip kerja rodi kan? Tapi tak apa. Mengingat gaji di sana cukup besar itu yang membuatku bertahan 2 tahun lebih lamanya. Semua kulakukan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hariku. Jika aku bilang ke orangtuaku makan di tanggung kampus itu bohong, karena aku tak mau merepotkan mereka. Ya. Makan sehari-hari sudah bukan tanggung jawab kampus. Beruntung aku memiliki pekerjaan di waktu weekend yang cukup untuk membiayai makanku.