Part 1

27 3 0
                                    

Matahari telah menyapa bumi dengan cahaya nya. Memanggil jiwa-jiwa yang berkelana untuk segera kembali pada empunya tubuh, agar dapat segera bangun dan membalas sapaan sang surya. Begitu pula dengan seorang gadis yang tengah terbaring dengan memeluk bantal guling bermotif beruang berwarna coklat.

Aksarani Amanda Noer. Begitu nama panjangnya. Seluruh keluarga menanggilnya Rani, namun ia sendiri lebih suka jika dipanggil dengan nama Amanda.

Rani. Bukan, ia bukannya tidak suka dengan nama itu. Hanya saja, nama Rani selalu mengingatkannya dengan almarhum ibundanya, Kirani Santika. Ibundanya yang telah meninggal sejak ia duduk di bangku kelas 3 SMP.

Tidak ada kata perpisahan, tidak ada salam terakhir. Ia yang saat itu sedang menginap di rumah sang nenek, tiba-tiba saja dibawa pulang oleh Om Randy, adik ibunya. Rumahnya begitu ramai, sangat tidak biasa. Dan ia bisa merasakan aura kesedihan yang terpancar dari wajah orang dewasa yang ditemuinya. Ayah langsung memeluknya, tubuhnya bergetar dan suaranya terbata-bata saat berkata "ibumu pergi ke surga, nak."

Ia memanggil, namun tak ada jawab dari ibunda. Ia mengguncang tubuh ibunda, berharap ibunya akan bangun dan kembali memeluknya. Namun nihil. Air mata sudah mengalir deras, membasahi pipi serta lehernya. Sedikit banyak menetes ke kain yang menutupi tubuh ibundanya.

Sejak saat itu, ia menolak dipanggil Rani. Tidak peduli jika ia akan dikatakan kurang ajar karna tidak menyahut maupun menoleh ketika keluarga memanggilnya. Selama mereka memanggilnya Rani, ia tidak akan pernah menoleh.

Cahaya yang merangsek masuk melalui celah mengusik tidur sang gadis, membuatnya terbangun dengan keadaan yang begitu kacau.

Tak butuh waktu lama untuk ia mengumpulkan nyawa, lalu segera beranjak ke kamar mandi untuk melakukan ritual paginya.

Selang beberapa menit, ia telah menyelesaikan ritualnya. Jam menunjukkan pukul 06.30, masih ada waktu setengah jam untuknya bersiap-siap. Setelah mengenakan pakaian yang pantas, ia kemudian membubuhkan sedikit riasan pada wajahnya. Tidak, ia tidak memakai make up berat. Hanya sunscreen, bedak yang dapat menahan minyak di wajahnya, serta liptint berwarna merah gelap. Selesai.

Menyambar tas yang selalu ia pakai, Amanda kemudian keluar dari kamarnya.

"Amanda, ayo makan?"

Itu tantenya, adik dari ayahnya. Tante Mey kini tinggal bersama ia dan ayahnya untuk sementara sebelum ia berangkat ke Jerman untuk meneruskan studinya.

"Ngga, Tan. Makasih, temenku udah nunggu di depan. Dadah!" Ia melambaikan tangan sebelum keluar dari rumah dengan menenteng sepatu ketsnya yang akan ia pakai di teras.

Ia duduk di salah kursi yang ada di teras rumah, memakai sepatu kets putih. Setelah selesai, ia mengambil ponsel yang tadi dia taruh di dalam tas, mengecek pemberitahuan.

[ LINE : You have a new message ]

Jarinya bergerak membuka notifikasi dari salah satu aplikasi chat populer asal Jepang saat ini.

Thea : Dimana?
Thea : Udah di depan nih.
Thea : P
Thea : P

Bibirnya menyunggingkan senyum. Thea, teman dekatnya. Ia dekat dengan Thea saat menginjak semester 3 dan ia merasa sangat nyaman berteman dengan Thea.

Jemarinya bergerak lincah mengetikkan balasan untuk Thea.

Amanda : Sebentar, aku jalan.

Setelahnya, ia langsung beranjak berjalan menuju ke depan lorong rumahnya. Ya, lorong rumahnya termasuk sempit, jadi temannya hanya bisa menjemputnya di depan lorong. Mobil Avanza hitam dengan sticker keluarga di belakangnya, ia sangat mengenali mobil temannya. Langsung saja ia membuka pintu dan masuk ke dalam mobil temannya.

Ada Thea dan Vero di kursi depan. Vero yang menyetir, karna ini memang mobilnya. Ia dan Thea hanya menumpang, hitung-hitung hemat ongkos. Perjalanan menuju kampusnya membutuhkan waktu yang cukup lama, sekitar setengah jam. Dan kebetulan, rumah mereka bertiga saling berdekatan sehingga mereka sering berangkat bersama.

Banyak hal yang mereka bicarakan sepanjang perjalanan menuju kampus. Mata kuliah, dosen, film, buku, teman-teman, gosip terkini, sampai obrolan mengenai laki-laki. Ya, mereka sudah cukup dewasa untuk membicarakan perihal laki-laki, bukan?

"Akuㅡ ngga tahu. Aku bingung."

Itu Thea. Dia sedang bingung mengenai dua laki-laki yang dekat dengannya. Mantan pacar yang masih menyayanginya, dan seorang lelaki yang baru-baru ini dekat dengannya.

"Kamu harus memilih, Thea. Kalau hatimu lebih condong pada Rion, lebih baik kamu jangan php pada Ghani." Vero menanggapi selagi matanya tetap fokus pada jalanan di depan.

Amanda memilih diam. Sejujurnya, ia belum memiliki pengalaman dalam hal yang seperti ini. Kisah cintanya? Sebatas suka dan tidak disukai balik. Hanya sebatas itu, tidak pernah lebih.

Thea menoleh padanya, "menurutmu gimana?"

"Emm, ya aku setuju, sih, sama Vero." Ia menganggukkan kepala. Walaupun dalam hatinya ia masih bingung.

***

Tahun ini Amanda, Thea, dan Vero memasuki semester ke-empat dalam perkuliahan mereka. Mereka berada dalam satu jurusan yang sama, jurusan Biologi. Walaupun mereka tidak dalam satu kelas, namun mereka tetap akrab satu sama lain.

Mata kuliah Bioenergi telah selesai, Amanda segera beranjak menuju kantin bersama teman-temannya yang lain. Perut mereka sudah protes minta diisi.

"Guys, makan di kantin Uda aja, ya?"

Itu Dea. Gadis manis penyuka makanan pedas, tak heran jika omongannya jadi ikut pedas.

Semua setuju. Mereka akhirnya memilih tempat yang biasa mereka tempati saat makan disana. Tempatnya teduh serta terasa semilir angin yang berhembus.

Amanda duduk di salah satu kursi yang menghadap ke arah kantin sebelah. Ia bercengkrama dengan Dea, Olive, Nandrea, serta Zey. Selagi menunggu pesanan mereka datang.

Nandrea yang memulai obrolan, bercerita mengenai praktikum yang sebentar lagi akan dimulai. Banyak dari mereka yang sudah bertanya-tanya pada kakak tingkat mengenai praktikum di semester ini. Ada yang berkata mudah, ada pula yang menyuruh berhati-hati. Sebab di semester ini mereka tidak hanya akan sibuk dengan praktikum, mereka juga akan mengurusi kuliah lapangan.

Berbeda dengan teman-temannya, Amanda sedikit lebih cuek. Ia tidak bertanya pada kakak tingkat mengenai praktikum ataupun kuliah lapangan. Ia hanya mendengar cerita dari teman-temannya.

"Belum mulai aja aku sudah pusing." Olive merapikan rambutnya, yang sebenarnya sudah tertata rapi.

"Geez, bener! Denger kata asistensi aja udah bikin aku capek." Nandrea menimpali.

Di tengah perbincangan, Amanda melirik ke arah kantin di depannya. Matanya membola.

Itu dia.

Seorang lelaki.

Berpakaian kemeja biru muda, lengan yang digulung sebatas siku, dan rambut sehitam arangnya. Sedang bercengkrama dengan teman-temannya.

Seorang lelaki yang mulai ia suka sejak menginjak semester dua. Saat ia tak sengaja memperhatikannya saat sedang makan, dan sialnya, dia ketahuan. Tanpa sadar, wajah Amanda sedikit memerah.

Lalu kini, wajahnya kembali memerah. Padahal, ia hanya menatap. Tanpa dibalas tatap.

"Kamu sakit, Manda?" Zey yang menyadari perubahan wajah Amanda yang tiba-tiba menjadi sedikit khawatir.

"O- oh, tidakㅡ tidak." Ia menggelengkan kepala, lalu tersenyum kikuk.

Aku hanya akan menatap. Tidak lebih.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 19, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Journey Of Deep SightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang