Bab 14. Amor

19.9K 3.3K 101
                                    

MEREKA mengobrol panjang dengan berbagai topik, mulai dari yang serius hingga hal-hal tak penting. Namun Maxwell begitu menikmati tiap detiknya. Dia melihat jam dinding menunjukkan pukul dua lewat dua puluh menit dinihari saat mendengar dengkur halus di seberangnya. Obrolan mereka baru saja menjadi pengantar tidur untuk Tara.

Lelaki itu tertawa kecil sebelum mematikan sambungan telepon. Kantuk masih belum menyentuh matanya. Maxwell malah menelentang sambil memandangi langit-langit kamarnya. Perasaan lega dan bahagia membuat lelaki itu merasa sedang menjamah bintang. Semua penderitaan karena berusaha memerangi hati sendiri, tak lagi meninggalkan bekas.

Tidak mudah baginya hingga bisa mengambil keputusan drastis. Jika bisa, dia takkan pernah mau bersinggungan dengan Jacob dan Sheva di masa depan. Akan tetapi, Tara membuatnya berubah pikiran. Gadis itu terlalu sayang untuk dilewatkan begitu saja. Karena, siapa yang tahu dengan masa depan? Bagaimana jika Tara adalah orang yang selama ini dicarinya? Belahan jiwa satu-satunya?

Oleh sebab itu, Maxwell memilih untuk maju ke belantara yang bisa sangat menyesatkan. Siap menanggung semua risiko, termasuk menghadapi tudingan yang pernah dilontarkan Jacob. Juga momen-momen canggung yang akan dihadapinya di masa depan ketika harus bertemu dengan kakak dan ipar Tara. Serta ketidaksetujuan dari keluarga Tara yang kemungkinannya sangat besar.

Cinta memberi Maxwell keberanian, ketidakpedulian, sekaligus kegigihan. Mirip dengan kata-kata Jerry Fletcher yang membuat Tara dan teman-temannya menamai usaha mereka dengan Geronimo. Saat ini yang terpenting baginya adalah Tara. Jika gadis itu siap menerimanya, dia takkan memedulikan yang lain. Jacob-Sheva tidak mampu membuat Maxwell mengubur perasaannya. Sudah cukup penderitaan yang pernah harus dikecapnya karena keduanya. Kini, meski Tara terhubung dengan keduanya, Maxwell memilih untuk memperjuangkan cintanya.

Dia tidak tahu apakah proses jatuh cintanya pada Tara bisa dianggap terlalu singkat? Dulu, dia langsung terpesona pada Sheva setelah mereka menjadi teman seperjalanan. Dengan Tara justru berbeda. Maxwell tidak langsung tertarik pada gadis itu di pertemuan pertama mereka. Jujur, dia malah agak sebal karena gadis itu dianggapnya mengganggu acara makan malam dengan Kishi. Yah, meski tentu saja peran Kishi tidak bisa diabaikan begitu saja.

Maxwell mulai merasa nyaman ketika mereka pertama kali sarapan satu meja. Itu pun awalnya terpaksa, sebab lelaki itu tidak melihat pilihan lain. Tidak ada meja kosong. Dia lebih memilih bergabung dengan Tara yang sudah dikenal sehari sebelumnya. Melihat antusiasme gadis itu saat mendengar Maxwell menceritakan pekerjaannya, itu sungguh di luar perkiraan. Karena bagi masyarakat awam, arkeologi adalah dunia asing. Tidak sedikit yang mengira para arkeolog hanya semacam pengumpul barang antik.

Begitulah, perlahan-lahan interaksi di antara terasa kian nyaman saja. Puncaknya, mengobrol panjang hingga hampir pagi dengan Tara mengenakan jaketnya. Momen sederhana itu membekas begitu dalam di kepala dan hati Maxwell. Hingga dia menyadari bahwa perasaannya pada Tara sudah kian tak terbendung saja, membesar tanpa kontrol.

Kini, hari-hari sendirinya sudah berakhir. Maxwell tak cuma memiliki pekerjaan yang dicintainya, melainkan juga seorang kekasih. Gadis istimewa yang menganggap semua ekskavasi yang pernah dilewati Maxwell sebagai pengalaman romantis. Orang yang juga menyebabkan sekujur tubuh Maxwell seolah tersetrum hanya karena kulit mereka bersentuhan. Siapa sangka Tara akan memberi efek demikian mengejutkan tak sampai dua bulan setelah perkenalan mereka?

Ah, Maxwell sudah lelah mencoba merasionalkan perasaannya. Terutama jika sudah berkaitan dengan hubungan Tara dengan Jacob. Sekarang, dia cuma memedulikan diri sendiri dan orang yang dicintainya. Selain Tara, hanya ada Kishi yang menjadi bagian penting dalam hidup lelaki itu.

Mendadak, Maxwell menyadari rasa lapar yang mengusik perutnya. Dia baru ingat bahwa lambungnya kosong sejak siang. Tadi, saat di Spatula pun dia cuma minum segelas kopi dan menyantap sepotong cake dan muffin. Lelaki itu akhirnya meninggalkan kamar, menuju dapur kecil dengan perabotan terbatas. Maxwell akhirnya memanggang roti untuk mengganjal perut. Kulkasnya kosong karena dia belum belanja. Lelaki itu mengingatkan dirinya untuk menyempatkan diri ke supermarket. Saat berada di apartemennya, Maxwell lebih suka memasak sendiri ketimbang memesan makanan dari restoran. Yah, walau kemampuannya tak sebaik para koki profesional.

Geronimo! [Terbit 21 Oktober 2019]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang