"Menurutmu, sampai kapan Humaira akan tinggal bersama kita?" tanya Maria selepas berganti baju tidur dan kini sedang merebahkan diri di sebelah Fahri.
Mereka berdua sudah bersiap akan tidur di atas ranjang yang tipenya sama persis milik David Beckham, Monarch Vi-Spring Bed. Super bed ini didukung 3.500 pir spring dan merupakan ranjang hand-made. Sejumlah material mewah yang digunakan di dalamnya terdiri dari kasmir, mohair, sutra, katun halus, wool murni dari domba, serta rambut kuda. Bagaimana tidak nyaman, harganya saja setara dengan satu mobil sedan BMW terbaru. Luar Biasa.
Fahri yang baru saja memejamkan mata karena lelah usai menghadiri rapat direksi dilanjut berunding lagi dengan Andrew masalah negosiasi mereka tadi sore, kini membuka matanya kembali. Ia sedikit terkejut mendengar pertanyaan isterinya yang tidak biasa.
"Kenapa memangnya?" Bukannya menjawab, Fahri malah balik bertanya sembari menatap Maria dengan tatapan penasaran.
"Nggak apa-apa. Tapi kalau boleh jujur, aku nggak nyaman. Akan bahaya kalau dia tinggal di sini sampai nanti beranjak dewasa," jawab Maria, mengulurkan tangan ke atas nakas untuk mengambil krim wajah dan mulai menotol-notolkannya di kulit wajah, aktivitas rutin sebelum tidur.
Fahri tidak jadi mengantuk. Ia bangun lalu menyandarkan punggung pada sandaran spring bed untuk menanggapi serius ucapan Maria. Pikirannya langsung tertuju pada kecurigaan, apakah isterinya sudah mengetahui perihal penyakit kejiwaan yang diderita oleh Humaira? Dari siapa? Apakah dari bu Intan? Atau Andrew? Ah, tidak. Pengasuh itu sangat amanah. Demikian pula partner bisnis sekaligus tetangganya, tidak mungkin berani membocorkan hal itu pada Maria.
"Kamu menuduhku tidak setia padamu dan beralih pada Mai, begitu?" Sebelum dituduh, Fahri sudah menuduh kecurigaan Maria terhadap dirinya. Sebagai tameng untuk melindungi dirinya sendiri.
Maria masih sibuk mengoles krim pada leher. Ia sadar, mempunyai seorang suami yang tampan dan serba sempurna, menuntutnya rajin merawat tubuh dan kecantikannya. Jika tidak, akan ada banyak wanita di luar sana yang bisa saja nekat mendekati dan merebut Fahri dari sisinya. Selain membentengi Fahri dengan doa, menjadi isteri yang patuh dan siap melayaninya dimanapun dan kapanpun, Maria juga berikhtiar merawat diri, agar Fahri selalu betah bersamanya, tidak sempat melirik wanita lain. Tapi kini ia merasa terancam sejak melihat Fahri bersikap sangat mesra terhadap anak angkat mereka sendiri. Meskipun sudah dianggap sebagai anak sendiri, tapi kenyataan bahwa Humaira bukan Mahram tidak akan pernah bisa diubah. Hal itu sangat mengganggu ketenangan Maria sekarang.
"Bukan begitu. Kejadian botol saus pecah tadi membuatku merenung lama," jawab Maria sembari meletakkan kembali botol krim wajah di atas nakas.
"Tentang apa?" tanya Fahri tak mengerti.
"Kedekatanmu dengan Mai. Kamu sampai menghisap jari telunjuknya yang terluka. Kupikir kamu melakukan hal itu hanya padaku saja, tapi ternyata pada Mai juga."
"Astaga, Maria. Dia hanya anak kecil dan dia anak angkat kita yang sudah kita anggap sebagai anak kandung sendiri."
"Anak kecil? Mai sudah akil baligh. Lagipula aku nggak pernah bisa dekat dengan anak itu. Setiap kali kudekati reaksinya selalu dingin. Baru kemarin dia mau memelukku dengan keinginannya sendiri, itupun seperti ada sesuatu yang ganjil, entah apa. Ditambah peristiwa botol saus pecah itu sampai kamu memeluk dan menghisap jarinya, bikin aku tambah nggak suka sama anak itu." keluh Maria dengan wajah masam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Humaira, A Girl With The Blue Eyes
RomansaAnak perempuan yatim bermata biru yang ingin menemukan cinta sejati. *** Humaira diadopsi oleh keluarga Fahri. Sejak kecil ia merasa bahwa Papa angkatnya adalah seorang pahlawan yang siap melindunginya dari segala ancaman bahaya. Lambat laun perasaa...