#3
“Enaknya kemana?” Woohyun. Nadanya sedikit mengejek kemudian tertawa lepas begitu saja. Sungyeol melengos, tidak jauh berbeda dengan Jiyeon yang justru menekuk wajahnya. Tawa Woohyun semakin menggelegar, apalagi dengan tingkah kedua sahabatnya ini.
“Geurae gurae. Jangan pasang muka seperti itu.. Sudah seperti bocah saja pakai ngambek.” Woohyun.
“Bodo!” Ucap Sungyeol dan Jiyeon serentak. Woohyun kembali tertawa, tawa yang sama pada setiap tarikan bibir pucatnya. Mungkin sekarang memang iya. Tapi bukan berarti untuk besok, lusa atau seterusnya.
***
Langit siang yang mulai kelabu kembali menyesakkan deru nafasnya. Namun dia tetap berdiri di atas atap gedung sekolahnya. Bukan menyerahkan nyawanya, tapi justru menepati janjinya. Woohyun melirik sekilas jam tangan hitam dengan kalep cokelat miliknya, waktunya hanya lima belas menit sebelum nafasnya kembali terhambat waktu minum obat. Detik selanjutnya, sebuah tangan menepuk pundaknya. Dia menoleh cepat, senyum tulusnya kembali terukir di sana.
"Sudah lama?" Ucap yeoja di hadapannya. Jiyeon.
"Tidak cukup lama." Woohyun mengeratkan jacketnya.
Hening. Beberapa menit justru berlalu begitu saja dalam suasana sepi. Hanya suara gemuruh petir yang mengisyaratkan segera datangnya hujan.
"Jadi.." Jiyeon berusaha memecahkan keheningan. Woohyun menoleh cepat, mata nya menatap tajam.
"Apa yang ingin kau katakan?" Jiyeon
"Aku... Aku ingin membuat pengakuan.." Ucap Woohyun parau, ada sedikit jeda di setiap kata-katanya. Jiyeon membenarkan posisinya. Sedikit menatap heran sahabat baiknya lima tahun belakangan ini.
"Aku menyukaimu. Tapi aku mohon, jangan pernah kasih rasa yang sama untuk ku. Aku akan secepatnya hilang, pergi bahkan lenyap dari hidup mu. Hati mu, terlalu berharga jika hanya untuk membalas rasa orang yang tinggal menghitung detik." Ucap Woohyun sambil menatap langit yang mulai menjatuhkan rintik-rintik airnya.
"Tapi, aku janji akan mengajak mu berdiri di atas awan. Aku juga akan tetap ada di hati mu. Di setiap hidup mu. Sekalipun itu tidak nyata." Lanjutnya.
Jiyeon hanya mematung. Meresapi setiap kata yang terlontar dari Woohyun. Sementara air langit semakin deras jatuh ke bumi. Suaranya seolah beriringan dengan pemikiran kedua anak manusia ini.
"Aku tidak butuh ada di atas awan. Aku menginginkan mu. Aku ingin bisa membalas rasa mu. Aku..." Jiyeon. Perkataannya belum sepenuhnya selesai. Namun tubuhnya memeluk erat laki-laki di hadapannya ini. Woohyun hanya diam, sama sekali tak ingin memberikan respon. Ralat, bukan tidak ingin, tapi mencoba menahan dirinya. Agar tidak melukai siapun yang ada di hidupnya saat dia pergi nanti.
Tangan dinginnya berusaha membalas pelukan Jiyeon, tapi semua terlambat. Tangannya mulai membeku, detakan jantungnya semakin tak karuan. Nafasnya semakin tersenggal, dia mendongakkan wajahnya, mencoba agar darah yang mengalir dari hidungnya tidak mengenai gadis di pelukannya. Jiyeon melepaskan rengkuhannya, menatap wajah Woohyun yang semakin memucat.
“Hyun..” Jiyeon menatap heran, tidak berselang lama Woohyun ambruk di hadapannya.
***
Suara alat alat pendeteksi detak jantung memenuhi ruangan berbau obat ini. Woohyun terbaring di atas sebuah ranjang rumah sakit yang biasa dia datangi. Bedanya, kali ini Jiyeon berada di sampingnya. Sama sekali tidak memejamkan matanya, memperhatikan tiap tiap bunyi dari detakan jantung laki laki yang ada di hadapannya kali ini. Sementara Sungyeol tertidur sambil menggenggam erat handphone kesayangannya di sofa.
KAMU SEDANG MEMBACA
FLY [√ COMPLETED]
FanfictionSaat sayapku sudah tidak mampu terbang, kamu harus tetap terbang. Dengan sayap yang membawamu berdiri di sini.