Barefoot

384 64 15
                                    

"Psst, Lee Jeno!" Seorang pemuda manis melongokkan kepalanya di jendela kelas 12-1. Tas warna hitam dengan gambar tengkorak tersampir di bahu, sepatu ditenteng di tangan sebelah kiri, kemudian tangan kanannya ia gunakan untuk memegang sebuah buku tulis yang bukan kepunyaannya.

Sebenarnya, apa yang sedang dia lakukan? Orang yang melewati koridor daerah siswa tingkat akhir pasti akan bertanya mengenai hal ini. Namanya Na Jaemin, dipanggil Nana oleh teman-temannya. Tinggi, kurus, cerewet, dan lumayan populer.

Meski kegiatan belajar baru akan selesai pukul empat sore, anak yang sering membuat masalah itu memilih untuk pulang lebih awal dengan alasan tidak enak badan—berbohong pada guru piket yang berjaga.

Pelajaran matematika dijam terakhir sudah pasti mebosankan. Sampai-sampai, Jaemin berpikir ia akan mati kebosanan jika ia tidak segera kabur sebelum Pak Johnny yang sok tampan—kata Jaemin—datang ke kelasnya untuk mengajar.

Jadi, di sinilah Jaemin berdiri. Berjinjit dengan tubuh yang menempel pada tembok kelas tetangga yang memang sering ia datangi. Keperluannya hanya satu, yaitu mengembalikan buku milik Jeno yang ia akui sebagai bukunya saat guru kimia meminta setiap siswa untuk mengumpulkan tugas.

Berulang kali berbisik, orang yang dipanggilnya tidak kunjung menengok. Jaemin jadi kesal sendiri. Sejak kapan sih pacarnya itu tuli? Bahkan Hyunjin, teman dekat Jeno di kelas juga dengar kok Jaemin memanggil Jeno sejak tadi. Malahan anak itu mengulas senyum sebentar sebelum menepuk pundak Jeno.

Jaemin bersyukur Jeno mempunyai teman seperti Hyunjin. Anak itu baik dan tidak seperti teman Jeno yang lain. Mereka sering menggoda Jaemin jika Jaemin datang untuk menemui Jeno seperti sekarang.

"Pacarmu," ujar Hyunjin sambil menunjuk ke arah jendela yang menampakkan wajah cemberut Jaemin.

Jeno pun mengangguk paham dan bangkit dari kursinya untuk menghampiri Jaemin.

"Ada apa, Na?"

Jaemin masih saja cemberut meski Jeno sudah datang. Buku yang dipegangnya ia berikan kepada Jeno. "Lama sekali sih keluarnya? Ini, aku mau pulang."

Alis Jeno terangkat naik. Apa-apaan ini? Jaemin menemuinya dengan muka kusut dan hanya mengatakan itu? Tidak memeluk manja lengan Jeno seperti biasanya? Oh astaga, jangan-jangan Jaemin terbentur sesuatu saat perjalanan kemari.

Tidak mau ambil pusing, Jeno menyingkirkan asumsi bodohnya dan memilih untuk fokus meladeni Jaemin. "Bagaimana? Tidak dicurigai guru galak itu karena ini bukan bukumu?"

"Tugasnya sudah ditandatangani, Nono. Kau harus membuat tugas lagi."

Helaan nafas keluar dari bibir pemuda yang lima bulan lebih tua. Apa Jaemin tidak tahu tugas ini ia kerjakan semalaman suntuk? Melelahkan tapi mau bagaimana lagi? Jaemin juga tidak tahu akhirnya akan seperti ini, kan? Jadi sudah seharusnya ia menjadi pacar yang pengertian.

"Baiklah. Lain kali kerjakan tugasmu sendiri, oke? Jangan hanya makan dan bermain game."

Netra coklat Jaemin yang senada dengan warna rambutnya berubah sinis. Ia tidak terima Jeno mengatainya hanya makan dan bermain game. Semalam Jaemin sibuk membantu orangtuanya mengemas barang-barang ke dalam kardus. Rencananya, mereka akan pindah rumah ke daerah gangnam yang kebetulan dekat dengan apartemen Jeno.

"Nono marah? Aku kan tidak tahu tugasnya akan ditandatangani. Biasanya Bu Irene hanya mengecek satu persatu kok tanpa meninggalkan paraf."

"Kenapa juga aku harus marah? Aku hanya memberi nasihat, Nana."

Jaemin hanya mengangguk saja. Sebaiknya ia tidak membantah Jeno atau pemuda itu benar-benar marah.

"Baik, baik. Kalau begitu aku pulang sekarang. Maaf sudah mengganggu waktu belajarmu."

Jaemin berbalik meninggalkan Jeno yang sedang kebingungan. Tidak seperti Jaemin saja, anak itu tidak mencium pipi Jeno dan tersenyum malu-malu sebelum berpamitan.

Ketika Jaemin sudah berjalan sejauh enam langkah, Jeno tersenyum bodoh menyadari Jaemin tidak memakai sepatu yang ia belikan sebagai hadiah ulang tahun Jaemin yang ke-17. Satu jam yang lalu hujan mengguyur kota Seoul. Jaemin pasti takut sepatunya terkena percikan air hujan yang bercampur dengan tanah.

"Pakai sepatumu, kucing!"

Jaemin yang mendengar teriakan Jeno spontan langsung menoleh. Dengan jari tengah yang terangkat tinggi ke udara, anak itu membalas teriakan Jeno tidak kalah keras. "Berjalan tanpa alas kaki bisa memperlancar peredaran darah, tahu! Dan mana ada kucing yang memakai sepatu? Dasar bodoh!"

Jeno tertawa hingga matanya tinggal segaris. Jaeminnya benar-benar lucu jika sedang merajuk. "Yang bodoh begini kau suka, kan, Nana? Hati-hati naik mobilnya, jangan mengebut!"

"Berisik! Cepat sana masuk kelas!"

— FIN —

Halo, ada yang berminat baca ini? Jadi ini bakalan jadi oneshoot collection gitu hehe. Setiap chapternya bisa aja gak saling berhubungan sama chapter sebelumnya. Cuman nomin-nya tetep sama, masih anak sekolahan. Gimana ya jelasinnya. Ya pokoknya gitu deh semoga paham. Kalau berminat vote, ya! Comment juga gapapa, aku lebih seneng. 👀

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 22, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Journal / Nomin 。Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang