11. Berpura-pura Tidak Membuatmu Kuat

117 20 8
                                    

Aroma kopi menyeruak ketika Arian memasuki kafe baru di bilangan Jakarta Selatan ini. Atas rekomendasi Joy, Arian memutuskan untuk mampir ke sini. Katanya mereka mempunyai cappuccino dan waffle yang enak. Jika Joy berkata demikian, maka Arian akan memercayainya. Joy agak pemilih soal makanan, lidahnya tidak bisa sembarang menerima makanan.

Aroma kopi kembali tercium. Tiba-tiba Aluna muncul dalam pikirannya. Arian mendesah.

Harusnya ia ajak Aluna.

Karena Aluna suka kopi dan ia suka Aluna. Sesederhana itu.

Arian memilih sebuah kursi di smoking area. Memang bukan tempat favoritnya, tapi karena senja hari ini terasa sayang untuk dilewatkan, maka ia tak masalah dengan area luar seperti ini. Lagipula tak tampak seseorang pun yang merokok di sana. Dengan begitu Arian bisa memfokuskan dirinya pada bab terakhir tesisnya sambil ditemani kopi, senja, dan angin sore yang belum terlalu dingin.

Seorang pramusaji datang dengan sebuah nampan berisikan secangkir cappuccino, waffle, dan sepotong tiramisu bersamaan dengan bunyi lonceng yang menandakan kedatangan tamu.

“Saya nggak pesan tiramisu,” kata Arian.

Matanya mengintip ke arah pintu masuk, sepertinya seseorang yang sangat familiar di ingatannya baru saja datang.

“Bonus, mas. Dalam rangka grand opening kafe kami,” terang pemuda tersebut.

“Oh, thanks. Selamat atas grand opening-nya,” ucap Arian.

“Sama-sama. Selamat menikmati, mohon beritahu kalau perlu bantuan dan lain-lain, ya.”

Ketika pramusaji tersebut pergi, dan ketika Arian dapat melihat tamu yang baru saja datang itu dengan jelas melalui sekat kaca bening yang memisahkan antara smoking area dan non smoking area, saat itulah Arian yakin bahwa perempuan yang baru saja datang adalah Aluna.

Arian jelas tak dapat menutupi perasan sukacita sekaligus heran. Ia bertanya-tanya kenapa dirinya dan Aluna selalu dipertemukan di tempat dan waktu yang tak terduga. Walaupun ia sama sekali tak keberatan dengan adanya hal ini.

Matanya tak berhenti mengamati Aluna yang terlihat berbeda karena pakaian yang ia kenakan adalah pakaian yang tak sering dipakainya bekerja. Dalam kesehariannya, Aluna selalu berpakaian ala kadarnya; jeans dengan kaos dan jaket denim kebanggaannya, atau hanya dengan kaos biasa saja, seperti itulah referensi Aluna yang Arian tahu. Dan sekarang Aluna mengenakan kemeja berwarna biru langit kebesaran yang bagian ujung depannya diselipkan ke dalam celana jeans ketatnya sambil mengapit sebuah clutch bag di lengannya.

Ia tak perlu melihatnya dengan seksama untuk memastikan bahwa gadis yang duduk di kursi seberang dengan posisi membelakanginya adalah Aluna.

Arian baru akan beranjak dari kursinya untuk menghampiri Aluna, namun urung karena ternyata Aluna menghampiri seseorang yang telah menunggunya sejak tadi. Orang itu sudah berada di sana bahkan ketika Arian datang.

Sejenak Arian melupakan tesisnya dan lebih tertarik dengan Aluna dan orang di depannya yang tampak sedang melakukan pembicaraan yang serius. Arian mendengar semua pembicaraan mereka. Dan Arian melihatnya. Perubahan ekspresi Aluna ketika mereka bertukar pandang, dan ketika mereka tengah berbincang.
Walaupun tidak terlalu jelas, tapi ia tahu bahwa wajah Aluna memerah seolah-olah menahan emosi. Entah kenapa, dada Arian ikut merasa nyeri. Aluna tak seharusnya diperlakukan sedemikian rupa oleh Raka. Dan jika semua itu terjadi setahun lalu, maka cocok dengan perubahan sikap Aluna yang tiba-tiba. Membayangkan Aluna harus menahan beban itu sendirian membuat dadanya sakit. Arian tidak terlalu paham apakah Aluna berubah kembali menjadi sosoknya yang riang adalah karena sandiwara atau bukan. Aluna sulit ditebak.

Alluring AlunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang