Keesokan harinya, Vere pergi ke sekolah seperti biasa. Ia duduk di bangkunya dan meletakkan tas di samping mejanya. Namun, hari ini ia hanya terdiam, hanyut dalam alunan lagu dari earphonenya, tanpa ada novel di genggamannya. Ia tiba paling pertama pagi ini. Belum ada satu pun murid yang datang selain dirinya.
Tadi pagi, Vere bangun pukul 4.30, bersiap ke sekolah, dan akhirnya tiba pukul 6.00, waktu dimana siswa malas masih tergeletak di atas kasur, bermimpi seindah-indahnya dan terbangun ketika bel masuk telah berbunyi.
Vere butuh waktu sendiri. Ia sedang menghindari percakapan panjang dengan mama. Vere butuh berbicara dengan dirinya sendiri, ia butuh hatinya untuk tenang. Ia lalu mengeluarkan buku diary yang selalu dibawanya. Dengan bolpoin hitam di tangannya, Vere mencurahkan isi hatinya.
Pada bangku coklat ini aku terduduk, diam dalam hening.
Pada alunan lagu ini aku terenyuh, terbungkus dalam duniaku sendiri.
Pada sejuknya angin di pagi hari, aku berjanji,
Akan kujahit lukaku, meraih mimpiku, dan menepis sakit hatiku.Vere lalu menutup buku itu dan meletekkannya ke dalam tasnya. Vere lalu berdiri, hendak naik ke rooftop sekolah untuk menenangkan pikirannya. Di atas rooftop gedung berlantai lima itu, ia bisa melihat seluruh penjuru SMA Kencana.
SMA Kencana adalah sekolah swasta dengan dua bangunan. Bangunan pertama adalah gedung berlantai lima dimana lantai satu adalah tempat ruang serbaguna dan tata usaha. Lantai dua sampai empat berisi kelas-kelas. Sementara di lantai lima terdapat ruang OSIS SMA Kencana.
Bangunan kedua adalah gedung berlantai empat. Lantai satu adalah yayasan, tempat untuk membayar uang sekolah, uang ekskul, dan uang kegiatan sekolah lainnya. Lantai dua adalah lab untuk pelajaran IPA dan bahasa, lantai tiga adalah ruang doa, dan lantai empat adalah auditorium.
Bangunan pertama dan kedua dipisahkan oleh dua lapangan besar untuk pelajaran olahraga. Kedua bangunan ini disambungkan lorong penyebrangan berkaca di lantai 2. Biasanya, lorong ini adalah tempat para siswi berkumpul untuk menyaksikan para senior ganteng bermain basket atau futsal saat pulang sekolah.
Di depan bangunan SMA Kencana, terdapat lapangan parkir yang begitu luas. Sementara itu, di belakang terdapat kantin yang dipenuhi beragam makanan dan minuman. Di samping kanan bangunan pertama dan di samping kiri bangunan kedua terdapat taman yang dirawat dengan baik sehingga banyak murid yang betah duduk membaca buku di sana daripada pulang ke rumah.
Semua bagian sekolah itu masih sepi pagi ini. Hanya ada beberapa karyawan dan guru serta beberapa murid yang berjalan menuju kelas.
Vere memperhatikan semua itu dari jauh. Melihat bagaimana dunia di sekitarnya berjalan. Ia lalu memejamkan matanya, kembali hanyut dalam lagu. Rambutnya tertiup lembutnya angin. Seburuk apapun suasana hatinya, ia tetap selalu bersyukur atas setiap nafas yang dihirup dan dihembuskannya, atas bumi yang dipijaknya, dan atas hati yang ia punya.
Vere sangat menikmati waktu-waktu seperti ini. Ia ingin sekali membaginya dengan seseorang, namun ia takut. Ia takut langit, udara, dan semuanya akan terasa berbeda ketika ada yang mendampinginya menikmati semua itu. Ia takut semesta cemburu akan setiap waktu yang dibaginya dengan orang lain. Maka dari itu, disimpanlah semua sensasi alam ini sendirian.
Vere melirik jam tangannya. Ia menghela nafas. Sudah 6.40, waktunya ia kembali ke kelas.
Bentar lagi Jena sampe di skolah.
Ia takut Jena menghebohkan satu sekolah hanya karena Vere menghilang. Ia lalu menuruni tangga sampai ke lantai tiga, kembali duduk di bangkunya, memasang earphone, dan membaca buku pelajaran seperti hari-hari biasanya. Ia menghela nafas sekali lagi dan berpura-pura tidak terjadi apa-apa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Maaf.
JugendliteraturMelalui sepenggal kisah yang penuh genangan airmata, sebatas luka dalam ruang kehampaan, dan sepercik harapan yang tertiup angin di kelamnya malam, Ia mengaku ia lelah.