Part 19

1.9K 308 79
                                    

Bulan yang bersinar diluar masih setia menemani dia yang sedari tadi terus membuka matanya. Berulang kali dia mencoba memejamkan mata tapi tidak bisa, yang dia lakukan hanya berguling kekanan dan kekiri, membuat tempat tidurnya berantakan, lalu dengan frutasi dia mengacak rambutnya sendiri, seolah tak menemukan ketenangan yang dia cari pada malam yang seharusnya dia gunakan untuk tidur.

Dan kini dia bangkit dari posisi tidurnya, dia diam sejenak, mengamati sekelilingnya, sepi. Hanya suara dentingan jam yang dia dengar. Dia kembali memegangi rambutnya, menariknya lagi dan lagi.

Dia hanya ingin tidur, kegiatan hari ini begitu menguras tenaganya, tapi kenapa tubuhnya seolah tak bisa di ajak kompromi, tak bisa terpejam barang sedikit pun.

Apa ini yang dinamakan perasaan khawatir? Khawatir untuk apa sebenarnya? Ntahlah.

Mungkin kepergian Melody dua hari yang lalu alasan kegelisahannya, dia jadi tak tenang, sudah dua hari tak bertemu, jangankan bertemu, untuk mendapat kabar dari Melody saja itu terasa sulit.

Semenjak keputusan Melody untuk lulus dari JKT48, kegiatan Melody bukannya berkurang malah semakin bertambah, banyak orang disana yang penasaraan akan alasan Melody hengkang dari JKT48.

Melody memang sedang berada di Jepang, dia tidak terlalu mengerti untuk apa. Yang dia tahu, Melody ke Jepang untuk urusan kerjaan.

Dan parahnya seharian ini, Melody tak memberikan dia kabar, walau besok Melody akan pulang tapi tetap saja rasa khawatir dan rindunya tak mungkin di tunda selama itu.

Sudah tak terhitung berapa banyak dia mengirimkan pesan, terus mencoba menghubungi Melody, walau dia tak mendapat hasil apa-apa.

Selimut yang sedari tadi menghangatkannya, dia buka dengan kasar, dia berjalan untuk duduk didepan meja belajarnya, menopang dagunya sendiri, rasa sepi begitu terasa didirinya, bahkan raut wajahnya mampu ditebak kalau dia sedang sangat gelisah.

"Kemana sih Mels?"

"Gak tau apa aku kangen." Ucapnya lagi sedikit merengek, dia menjatuhkan kepalanya, menjadikan tangannya sendiri bantalan.

Malam yang semakin larut membuat suasana sepi semakin terasa. Dia menenangkan dirinya sendiri, berharap Melody baik-baik saja.
Sampai rasa kesendirian itu mampu membawanya memejamkan mata.

Pagi menjelang, dering dari suara alarm sudah berkali-kali berbunyi, tapi dia tetap tidur tak bergerak, sampai suara itu berbunyi lagi, dia mulai sedikit terusik.

Dia melenguh merasakan lehernya yang terasa sakit, dengan mata yang masih belum sepenuhnya terbuka dia mulai membuka hapenya, betapa terkejutnya dia, ternyata waktu sudah menunjukan pukul 05.30.

"Yaallah...Melody!!" Katanya berteriak. Dia pagi ini memang harusnya menjemput Melody, sudah setengah jam yang lalu Melody tiba di Jakarta, dengan tergesa dia berlari kekamar mandi, segera mungkin untuk sampai ke Bandara, karna dia yang terburu-buru, dia lupa membawa handphonenya.


Sedangkan di Bandara Soekarno-Hatta, ada mata yang terlihat gelisah terus saja mengamati tiap sudut Bandara yang luas, ada seseorang disampingnya, yang sudah datang di bandara setengah jam sebelum dia datang, berharap dia mau menerima tawarannya.

Lagi dia melihat jam pada pergelangan tangannya, sudah hampir setengah jam dia menunggu.

"Gimana? Udah ada kabar dari Lidya?" Kata sosok laki-laki berkacamata.

Dengan lemas dia menggeleng, kembali berdiri, sedikit berjalan, berharap Lidya segera datang untuk menjemputnya. Dia yakin, Lidya tak mungkin lupa untuk menjemputnya, beberapa hari yang lalu dia memang tak sempat memberi kabar pada Lidya karna dia yang sibuk, dia jadi berfikir apa Lidya marah?

Melody Lidya [Stop]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang