INGGIT GANARSIH. Sebelumnya, yang kutahu dari nama itu hanyalah sosok yang anggun, istri dari pahlawan nomer satu di Indonesia --Soekarno--. Namun kini, pandanganku berubah. Terlalu sulit untuk mendeskripsikan Beliau hanya dengan kata-kata. Bu Inggit, adalah manusia yang bertindak sebagaimana manusia. Adalah perempuan yang bersikap seperti perempuan seharusnya.
Bukan karena ia anggun, ramah, pandai bersolek, dan elok parasnya. Tidak. Lebih dari itu, Inggit punya banyak nilai luhur yang ia junjung sebagai perempuan. Kecerdasan dan keberaniannya mengagungkan hak wanita, membuat siapapun yang mengenalnya berdecak kagum.
Soekarno membuatnya jatuh cinta, dan ia memutuskan untuk terus mencintai Soekarno sampai akhir nanti. Enyahkan pikiran kalian semua dengan akhir cerita hidup bahagia berdua selamanya. Tidak, Inggit tidak mendapatkannya.
Padahal, Inggit sangat pantas mendapatkan akhir cerita cinta seperti yang dikisahkan negeri dongeng itu. Menilik kembali pada kesetiaan dan pengabdiannya mendorong Soekarno sampai ia menjadi 'Soekarno' yang kita kenal sekarang.
Menjadi tulang punggung keluarga, Inggit tak protes. Selalu mengunjungi soekarno yang berada di dalam penjara, bahkan ia menyelundupkan buku-buku terlarang sebagai bahan bacaan suaminya di penjara. Ia rela puasa beberapa hari sebelumnya, agar bisa menyembunyikan buku-buku itu di perutnya. Berjalan kaki 10km jauhnya dari rumah ke penjara yang di diami Soekarno pun ia lalui.
Menjadi telinga Soekarno bilamana ia tengah gelisah dan butuh perhatian. Setia mendampingi Soekarno ketika ia menjadi tahanan buangan ke kota-kota yang jauh dari pulau Jawa. Menekan egonya, bersikap seolah-olah ia berani dan baik-baik saja untuk meyakinkan Soekarno mengejar terus cita-citanya. Dari sekian banyak kebaikan dan pengorbanan yang telah Inggit lakukan, dia memiliki satu kekurangan.
Ia tidak bisa mempunyai anak.
Satu titik hitam di luasnya kanvas putih akan sangat terlihat dan menjadi fokus orang-orang ketika melihatnya. Kecacatan selalu tampak jelas di mata orang, masa bodoh dengan kelebihan yang lebih banyak dimiliki.
Hal ini berlaku juga untuk Inggit. Setelah semua yang diberikan Inggit untuk Soekarno, satu permintaannya yang tak mungkin bisa inggit berikan. Anak. Maka ketika suatu malam Soekarno berkata kepada Inggit, "Aku ingin memiliki anak," ia tahu maksudnya. Bukan permintaan memiliki anak, tidak. Tapi permintaan izin untuk menikah kembali dengan dara cantik itu. Fatimah. Gadis pintar yang sudah ia anggap sebagai anaknya sendiri.
Mungkin, jika ini terjadi pada orang lain, ia akan mengiyakan saja permintaan suaminya dan menurut pada takdir yang ia dapatkan. Pasrah dimadu, memasang senyum palsu di pernikahan kedua suaminya. Jangan harapkan respon yang sama dari Inggit. Perempuan ini dengan tenang memperbolehkan Soekarno menikahi Fatimah, setelah menceraikannya.
Rayuan manis terlontar dari mulut Soekarno agar Inggit tetap menjadi istrinya. Inggit bilang, itu bukan rayuan. Itu muslihat. Lelaki seringkali merayu wanita agar menuruti keinginannya. Sayangnya, muslihat itu tidak mempan untuk Inggit.
20 tahun Inggit menemani Soekarno kemanapun ia pergi, melewati masa-masa tersulit dengannya. Seperti Soekarno yang selalu meneriakan kata 'TIDAK' pada kolonialisme dan imperialisme, mengapa Inggit mesti tidak berani berkata 'TIDAK' ketika Soekarno ingin menjadikannya sebagai sebuah koloni lelaki?
Dan dengan kata 'TIDAK' itulah, Inggit meminta cerai pada Soekarno dan kembali menjalani hidupnya di Bandung, tempat pertama kali mereka bertemu. Dengan kata itu, Inggit sudah menjalankan tugasnya sebagai seorang istri, juga menjalankan kewajibannya sebagai seorang perempuan. Berkata tidak pada kemauan seorang lelaki yang ingin mengambil harga dirinya.
Namun meski begitu, perceraian tak menyurutkan rasa sayang Inggit kepada Soekarno.
Bu Inggit mengajarkan kaum wanita, bagaimana mencintai lelaki tanpa harus dibodohi olehnya.
Rabu, 6 Februari 2019
KAMU SEDANG MEMBACA
POV (Point Of View)
Non-FictionBerisi ulasan cerita atau film yang sudah aku nikmati.