Affair 5

1K 86 14
                                    

Rambut check, Makeup check, High heels check, outfit check,
Hampir lupa. Parfum check.
Aku menyambar ponsel dan purse ku. Jam di ponsel menunjukkan pukul 6.30, segera ku memesan uber.

Tempat favorit kami adalah bar dimana kami selalu menghabiskan malam setelah sidang di sana. Awalnya kami ke sana bersama associates yang lain, tapi lama kelamaan.. Irene hanya ingin minum denganku, dan membuatku hanya ingin berdua dengannya. Jadi itulah awal perkenalan kami, bukan saat aku diterima menjadi mahasiswi magang.. walau itu bisa dibilang pertama kali kami bertemu, tapi minum berdua di bar ini ialah awal kami mengenal satu sama lain.

Bar terlihat masih sepi. Sudah 10 menit aku duduk dan menolak untuk memesan minuman.
"Yakin mau menunggu kekasihmu?" Tawar bartender sambil tersenyum. Lalu aku tersenyum,
"Martini, dengan dua olive"
"Aye aye ma'am." Responnya bergegas membuatkanku minum.

Aku melihatnya berjalan memasuki pintu bar, rambut hitamnya terikat. Tangan kanannya menggenggam clutch dan blazer coklat. Rasanya, mengenakan turtle neck hitam dan kulot panjang yang senada dengan blazernya merupakan keputusan yang tepat.
Irene terlihat luar biasa cantik. Seperti biasanya.

Dan. Aku merasakan sentuhan lembut tangannya di pinggangku, seraya membisikkan, " Maaf aku terlambat. I miss you, babe." Lalu mencium pipi kananku. Sambil tersenyum, ia duduk disampingku.

"Martini dengan dua olive, dan kau nona cantik. Mau minum apa?" Segelas martini meluncur di meja bar.
"Jangan menggodaku atau dia akan marah." Kami bertiga tertawa, "Toxic Vodka, iced." Lanjut Irene dan dibarengu dengan perginya bartender itu untuk membuat iced toxic vodka.

Irene menggenggam tanganku, untuk beberapa menit interaksi kami hanya sekedar genggaman tangan.
"Bagaimana kasusnya?" Aku memainkan jemari Irene.
"Persidangan akan dilanjutkan besok Senin, aku rasa kejaksaan akan meminta Meredith Santiago untuk menjadi saksi mereka." Ia terlihat serius, aku yakin Irene sangat lelah.
"Mrs. Santiago direktur keuangan? Oh sayang, Santiago tidak akan membunuh pihak kita. Aku yakin. Hei, aku percaya kita akan memenangkan kasus ini." Irene tersenyum dan metanap mataku dengan teduh.
"Siapa saksi yang disiapkan untuk minggu depan?" Tanyaku lagi dan Irene hanya tertawa
"Cukup dengan masalah pekerjaannya, please, aku sangat tidak ingin membicarakannya." Tangan kanannya menopang kepala dan memandangiku.
"Uuuh. I miss you so much, Rene." Aku menciumnya, keputusan yang tepat, kenapa tidak kulakukan sedari tadi? Uh, aku sangat merindukannya.
"Ehem, Miss, 1 iced toxic vodka."
Irene tersenyum kecil dalam ciuman kami, lalu ia menghentikannya,
"Thank you for interrupting." Lagi-lagi kami tertawa.

Irene memutuskan untuk mengajakku keluar dari bar setelah 2 jam ngobrol di sana. Sepertinya aku bisa menghabiskan banyak waktu untuk berjalan-jalan bersamanya.

"Rene, mau kemana kita?" Lenganku sudah memeluk lengan Irene erat.
"Mungkin kita akan strollin' around the block, Wen" Jawabnya sembari mencium ujung kepalaku.

Kami ke sana kemari membeli sandwich kepiting dan aku tidak percaya Irene antri membeli draft beer. Yang benar saja? Kami baru saja keluar dari bar. Tidak cukup kah minuman di sana?

"Percayalah padaku, sandwich ini sangat cocok bila ditemani segelas beer. Cobalah, Wen." Desak Irene yang tak bisa kutolak. Oh ya, ku akui, kata-katanya benar, mereka berdua sangat cocok. Irene menganggukan kepalanya dengan bangga saat rekomendasi makanannya kusukai.
"You like it?" Dengan mulut penuh aku mengangguk.

Seperti layaknya anak lelaki 5 tahun, Irene merayakan keberhasilannya. Ia menari-nari didepanku. Astaga, apapun yang ia lakukan membuatku bahagia.

"Stop it, Rene! Kau membuatku malu." Aku menjejalkan sandwich kepiting ke mulutnya dan tertawa.
Kami berpelukan, "I love you, Irene Bae" dan kata cinta itu meluncur begitu saja dari bibirku. Mereka berwujud bisikan kecil tepat di telinga Irene.

Aku merasakan Irene memelukku erat dan membalas bisikan itu dengan mulut penuh.

"I woff wu too, Wen." Mataku berputar, astaga wanita ini benar-benar seperti anak kecil.
"Telan makananmu, atau aku akan marah."
"I woff wu the moft Wendy, i woff wu"
Memang dasar tidak bisa diatur, ia masih berbicara dengan mulut penuh dan meledekku. Irene tau kalau aku akan segera memukulnya, ia segera meminum beer setelah menelan seluruh sandwichnya.

Tiba-tiba ia serius dan menggenggam tanganku, perempuan itu sangat cantik.

Irene Bae. Kau milikku.

"I love you the most, Wen." Tangannya yang dingin menarik wajahku, bibirnya menghangatkan milikku. Kami berpanggutan cukup lama, she's such a good kisser.

Bibirnya seakan berhenti menyiumku, dan membuatku ingin terus merasakannya.

Triknya berhasil.

Aku menarik kepala Irene, terus menyiumnya. Irene tersenyum ditengah ciumanku, dan tertawa.

"Shall we?" Dan aku mengerti maksudnya, Irene menggandeng tanganku untuk menunggu taksi.

Irene Bae tidak memberikan sedikitpun jeda di sepanjang perjalanan kami ke Hotelnya. Ya, di dalam taksi ia hampir memakan seluruh wajahku.

Lift cukup penuh. Damn it, Irene! Not here! Tangan lentiknya menyelinap dibalik coatku dan

"Slow down, Tiger. Not. Here." Bisikku yang berhasil menarik pergelangan tangannya sehingga Irene tertawa karena aktifitas nakalnya gagal.

Lantai 17, ia menarik tanganku sedikit berlari. Tepat didepan kamar hotelnya, sambil mencoba menyelipkan kartu ke pintu, ia juga mencoba menyelipkan tangannya ke balik baju hangatku.

Setelah pintu terbuka, Irene menggunakan tubuhku untuk menutup pintu itu. Masih dibalik pintu, ia membuka coatku..

Bibirnya menari tepat dibawah telingaku dan terus ke bawah, there! Right there. She got the right spot.

"Mm..  Aaahh.. J-just do m-me, Bae."

So the long night has begin.


Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 31, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Good Affair | Red Velvet • WenreneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang