Tiga tahun yang lalu, kami berkunjung ke semacam pesawahan. Kami turun dari bis, dan semua tampak sungguh membosankan. Guru-guru menyuruh kami makan. Aku tidak lapar. Adhin tidak lapar. Rizal tida lapar. Kenapa segalanya harus dimulai dari makan??? Tapi okelah, kami makan. Tak ada yang bisa membantah guru. Setelah makan, kami turun ke sawah. Para petani di sana terlihat sangat lelah, tak bisa diajak bicara. Tapi, kami wajib bertanya kepada petani (sungguh peraturan yang sangat kejam). Akhirnya, aku mencari petani yang sepertinya bisa ditanya
"Pak, padi ini nanti mau diapakan?" sungguh pertanyaan yang begitu singkat, padat, dan bodoh. Semua orang tahu bagaimana menjawabnya. Termasuk aku sendiri. Lalu, aku kabur. Sekali lagi, sebuah keputusan yang bodoh.
Aku mendekati Adhin. Sepertinya ia memilih keputusan yang salah. Ia menanyai petani yang salah. Petani yang lelah. Adhin bertanya, petani diam. Adhin bertanya lagi, sang petani tetap diam. Saking kesalnya, Adhin berkata, "Diam saja seperti batu" saat itu, aku sedang menatap pohon, lebih tepatnya, menatap buahnya. Sekali lagi, sebuah keputusan yang aku sesali. Aku kembali menatap petani tadi. Tapi hanya ada patung. Apa yang terjadi? Di sawah mana ada patung. Beberapa hari setelah itu, aku mendengar gosip bahwa Adhin adalah si pahit lidah.
YOU ARE READING
Si Pahit Lidah
AventurăAdhin adalah seorang pendiam, tapi menapa ia selalu diam? Adakah rahasia yang disembunyikannya?