#Suro

21 3 0
                                    

Aku tak tahu alasannya, kenapa bulan Suro dianggap sebagai bulan yang berbeda. Bahkan memulai sesuatu di bulan ini, dianggap tidak memberikan hal baik kedepannya.

Menikah, memulai membuat rumah, ataupun hajatan lain dianggap tidak diperbolehkan.

Khususnya bagi kami yang tinggal di Jawa Tengah. Saat bulan Suro tidak akan terdengar "orang duwe gawe". Karena sebagian besar masyarakat nya percaya bulan ini adalah bulan yang sakral. Bulan dimana banyak keburukan yang dibawa.

Seperti yang sekarang aku lihat beberapa hari ini. Tiap rumah di desaku memiliki kebiasaan baru, ada beraneka warna cairan yang dibungkus plastik dan ditaklukan di pohon di depan rumah.

Jika tak memiliki pohon, dibuatlah pohon dari dahan pohon, atau bambu yang digantungi dengan plastik bening yang diisi cairan berwarna warni.

"Nduk Nina, buat itu dengan apa?bagus ya?". Ucapku pada anak gadis dari adik iparku, suatu sore.

"Njih, Budhe. Semua temanku buat ini dari tinta spidol yang diberi air. Nanti cairan ini di gantung di pohon mangga depan rumah." Jawabnya menjelaskan diiringi senyum cerianya.

"Wah, berarti bagus donk, nanti tiap rumah jadi berwarna-warni. Kalo cairan ini terkena cahaya lampu pasti jadi lebih menarik." Sambil membantu mengaduk cairan warna merah di depanku.

"Bukan itu saja budhe, cairan ini nanti sebagai tolak bala, kan ini bulan suro. Ben mboten ada hal goib jelek yang mendekati rumah kita!" Meluncurlah penjelasan dari mulut kecil keponakan cantikku ini.

"Haha...kamu tahu dari mana nduk?"terkekeh aku mendengar penjelasannya.

"Dari teman-temanku budhe. Kata mereka kalo kita naruh seperti ini didepan rumah, Gendruwo dan setan nggak berani mendekati rumah kita."

"Waduh, gendukku sayang, mboten pareng bilang gitu. Itu namanya syirik nduk. Percaya bahwa sebuah benda memberikan perlindungan.  Itu tidak diperbolehkan di agama kita" Jelasku sambil mengelus kepalanya.

Dia hanya mengangguk-angguk. Entah mengerti atau tidak dengan yang ku katakan.

Ada tradisi lain yang ada di bulan Suro. Namanya "Lampor". Tradisi ini dimulai setelah sholat Magrib. Orang-orang akan membawa obor dari bambu dan berkeliling mengitari desa. Tiap rumah yang dilewati secara bergantian menyediakan kerupuk di depan rumahnya.

Kerupuk ini nanti akan diambil oleh mereka yang ikut Lampor. Tiap rumah bergantian menaruh kerupuknya. Saat kecil akupun pernah sampai membawa kerupuk satu kantong plastik besar.haha ...senang sekali saat itu.

Tradisi lainnya bernama "Barongan". Setiap siang ada Barongan yang mengitari semua rumah penduduk. Rumah yang sudah diputari dipercaya akan terhindar dari malapetaka. Saat aku masih kecil, suka sekali berada di belakang rombongan barongan ini dengan meneriakkan"galak lek...galak lek".

Setiap mendengar teriakan tersebut, barongan akan mengejar kami dengan mengatup-ngatupkan mulut besarnya sehingga terdengar bunyi "tak tak tak" yang sangat keras. Beberapa dari kami akan menjerit ataupun menangis. Tapi bukan aku lho..haha

Betapa kami para anak kecil saat itu sangat menikmati tontonan ini.

Sampai sekarang kami menikmatinya. Hanya mungkin bergeser maknanya. Dulu dianggap sangat sakral sekarang menjadi hiburan.

Itu saja ceritaku tentang bulan Suro.

"Galak lek ...galak lek"
***

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 23, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SuroTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang