Kue apem, pisang susu, dan segelas air putih. Memang makanan yang sederhana, namun akan terasa sangat enak kalau disantap pada saat lapar. Keempat anak itu makan dengan lahap. Ghata bahkan sudah menghabiskan tiga buah pisang susu. Anak-anak tidak perlu khawatir makanannya habis, karena Ghata membawa banyak makanan untuk mereka.
Anak-anak makan dengan lahap, mereka seolah lupa bahwa mereka sedang berada di gua yang gelap, lembap, dan bau kotoran kelelawar. Tubuh mereka lelah sehingga tidak sempat memikirkan semua itu. Meskipun sudah biasa berjalan jauh, mereka belum pernah berjalan sejauh ini dengan membawa beban seberat tas mereka sekarang.
"Apa kita akan melanjutkan perjalanan?" tanya Kiren.
"Ya, dan kita tidak perlu susah-susah mencari tempat camping lagi. Kita harus menemukan mata air sebelum matahari terbenam," Mahesa meneguk setengah gelas air putih.
Kiren mengeluh malas, "Untuk apa? Kita sudah jalan jauh sekali, tidak bisa ya, kalau sekarang kita istirahat saja. Besok baru melanjutkan perjalanan."
"Persediaan makanan kita memang cukup, tetapi tidak dengan persediaan air kita."
Anak-anak segera mengemasi barang-barang mereka. Pukul satu siang, berdasarkan perkiraan Mahesa yang membaca posisi matahari. Masih ada lima jam lagi sebelum gelap. Keempat anak itu mempercepat langkahnya.
Satu jam berlalu. Keempat anak itu masih belum menemukan mata air. Pergerakan mereka melambat. Stamina mereka benar-benar terkuras. Meski begitu, sama sekali tak terdengar keluhan dari mulut mereka. Kaki-kaki mereka terus melangkah tanpa henti.
Keempat anak itu mulai letih. Mereka telah berjalan tanpa arah selama dua jam tanpa henti. Ghata mulai emosi karena kelelahan. Ia berhenti, tidak peduli dengan teman-temannya yang terus berjalan meninggalkannya. Kiren sempat menoleh ke belakang dan melihat Ghata.
"Berhenti Hes! Kita sudah berjalan terlalu jauh, jangan membuang tenaga lagi," Kiren menghampiri Ghata yang sedang duduk bersandar di bawah pohon lalu bergabung dengannya.
"Kita harus menemukan mata air sebelum gelap, Ren."
"Kalau kita hanya berjalan tanpa arah, bagaimana kita akan menemukan mata air?" tanya Kiren. "Tahu begini tadinya kita ikuti sungai Asri saja, tidak perlu minta bantuan Nenek Asmi," lanjutnya
"Kau benar, Ghata. Kita cari saja sungai Asri. Seharusnya tidak terlalu jauh dari sini. Mungkin sekitar setengah jam kalau kita berjalan terus ke arah timur dengan kecepatan seperti tadi. Dan akan lebih cepat kalau kita mempercepat langkah kita. Ayo kita lanjutkan perjalanan," ajak Nindya dengan penuh semangat.
Tidak ada yang beranjak dari tempatnya. Mahesa yang tadinya semangat malah berputar-putar tidak jelas di sekitar tempat itu. Ia seperti mengamati sesuatu di semak-semak. Kiren sama sekali tidak menghiraukan perkataan Nindya. Bahkan mungkin ia tidak mendengarkan. Ghata sempat melirik ke arah Nindya, lalu kembali mengalihkan pandangannya ke arah lain.
"Kakimu terbuat dari apa, Nindya?" akhirnya Ghata bersuara.
"Baiklah, kita istirahat di sini sebentar. Sebenarnya aku juga lelah," Nindya duduk di samping Kiren. Ia meregangkan ototnya dan meluruskan kedua kakinya. Nindya memandang sekitarnya. "Tunggu, dimana Mahesa?"
Mereka bertiga tidak melihat Mahesa. Ghata dan Kiren melupakan lelahnya seketika. Mereka mulai panik. Nindya sudah berputar-putar tidak jelas seperti Mahesa tadi. Mereka amat takut kehilangan Mahesa. Kiren dan Nindya mulai meneriakkan nama Mahesa.
"Aku di sini," sahut Mahesa.
"Mahesa, kau dimana?" tanya Kiren dengan berteriak.
"Aku di sini, di dekat kalian."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sahabat HIJAU-BIRU
AdventureAkhir-akhir ini sering terjadi kasus penebangan liar di sekitar desa Sanskara. Nindya, Kiren, Ghata, dan Mahesa yang merupakan anggota tim sahabat HIJAU-BIRU berusaha menyelidiki siapa pelakunya. Mereka tidak takut walaupun mereka tahu, tindakan mer...