7. bagian tujuh

550 19 0
                                    

"Wiguna, selama ini engkau sudah mempelajari ilmu kanuragan Sundang Wilwatikta pun juga dengan berbagai kesaktian yang telah turun temurun dipelajari para ksatria Wangsa Rajasa, namun satu yang harus engkau sadari, yang namanya ilmu memang tidak akan ada habisnya dipelajari, maka menurut Eyang, jika engkau memang belum mau kembali ke Pamotan, sebaiknya engkau dan Gupita mengembara dulu, mengasah kemampuan kalian, tapa ngrame, gunakan ilmu kalian untuk membantu rakyat yang membutuhkan pertolongan" ujar Mpu Triguna panjang lebar setelah mendengar jika Arya Wirayuda belum mau kembali ke istana di Pamotan

"Wah, usul dari Guru bagus sekali Adi, aku setuju sekali, kita akan mempraktekkan bukan hanya ilmu kanuragan kita, namun juga ilmu pengobatan, ilmu pertanian yang kita pelajari di padepokan ini Adi" sambung Gupita dengan bersemangat

Sementara, Arya Wirayuda tampak terdiam mendengar saran dari kakeknya serta sikap Gupita yang mendukung saran dari kakeknya itu. Setelah hening beberapa saat, kemudian Arya Wirayuda pun akhirnya berkata " Paman prajurit berdua, setelah saya memikirkan saran dari Eyang serta dorongan Kakang Gupita, rasanya memang Aku condong untuk mengembara terlebih dahulu, mengasah kemampuanku di tengah masyarakat, sehingga nanti saatnya kembali ke Pamotan, maka ibarat buah, ilmu yang kupelajari di padepokan ini telah matang, maka tolong sampaikan saja pada Ayahanda kalo saat ini Aku belum bisa pulang ke Pamotan"

Kedua prajurit utusan dari Pamotan hanya saling pandang mendengar jawaban dari Arya Wirayuda, bagi mereka keputusan Arya Wirayuda untuk menolak kembali ke Pamotan saat ini tentu membuat mereka menjadi bingung, sejak sebelum berangkat ke padepokan, Senopati Arya Jaladara telah berpesan dengan sangat agar Arya Wiguna segera pulang dan menjadi prajurit di istana Pamotan. Namun karena keputusan telah diambil, dan justru merupakan saran dari Mpu Triguna, ayah dari Senopati sendiri, mau tidak mau membuat kedua prajurit tidak lagi bisa bicara meminta Arya Wirayuda segera kembali.

"Kalian berdua tidak usah takut, nanti Aku yang bertanggungjawab kepada Gustimu Jaladara, malam nanti biar Aku menulis surat kepada Gustimu itu, jadi kalian sementara istirahatlah dahulu di padepokan ini, besok pagi pagi kalian baru turun dari padepokan ini kembali ke Pamotan" ujar Mpu Triguna setelah memandang kedua prajurit yang tampak gelisah karena keputusan Arya Wirayuda.

Maka pagi harinya, setelah mendengarkan wejangan dari Mpu Triguna, kedua prajurit serta Arya Wirayuda dan Gupita bersama-sama berpamitan untuk meninggalkan padepokan. Bedanya adalah bahwa kedua prajurit akan segera kembali ke kraton wetan di Pamotan, sementara Arya Wiguna dan Gupita akan memulai pengembaraannya mengasah kemampuan ilmu yang mereka dapat selama di padepokan untuk digunakan membantu masyarakat.

"Kami mohon pamit Gusti Sepuh, semoga Gusti Jaladara tidak memarahi kami yang gagal menjemput pulang Nakmas Arya Wirayuda" ujar prajurit

"Kalian tidak usah khawatir, setelah membaca surat yang aku tulis, Jaladara pasti akan memahaminya dan tidak memarahi kalian, satu tahun lagi, saat Wiguna selesai mengembara topo ngrame bersama Gupita, mereka berdua pasti akan jadi prajurit-prajurit muda yang tangguh bagi Pamotan" kata Mpu Triguna

"Kami juga mohon pamit Eyang, semoga pengembaraan kami nanti bisa menempa kami menjadi semakin dewasa" ujar Arya Wirayuda.

"Restuku untuk kalian, Wiguna, Gupita, semoga kalian betul-betul menggunakan ilmu kalian untuk masyarakat yang membutuhkan" kata Mpu Triguna

Demikianlah, pagi itu, empat ekor kuda tampak beriringan meninggalkan padepokan di kaki Gunung Penanggungan, sesampai di dusun yang ada di bawah kaki gunung, dua ekor kuda yang ditunggangi oleh prajurit kedaton wetan membelokkan arah menuju ke kota Pamotan, ibukota kedaton wetan Wirabhumi, sementara dua ekor kuda yang ditunggangi oleh Arya Wirayuda dan Gupita tampak mengarahkan kudanya ke arah kota tua Lamajang.

"kita berpisah di sini Paman, kami berdua akan ke arah Lamajang, menengok tempat para leluhur dicandikan, sampaikan salam kepada Ayahanda dan Ibunda, " ujar Arya Wirayuda.

"Baik Anakmas, salam akan kami sampaikan, Kami berdua mohon pamit untuk bergegas kembali ke Pamotan" jawab prajurit.

Setelah kedua prajurit menggebah kudanya agar berlari kencang menuju Pamotan, maka Arya Wirayuda dan Gupita dengan berlahan mengarahkan kudanya menuju Lamajang, sebuah kota tua yang dahulu dibangun di era Tumapel, saat Maharaja Wisnu Wardhana. Lamajang didirikan oleh Nararya Kirana, salah satu saudara Maharaja Kertanegara, anak dari Maharaja Wisnu Wardhana. Dari keturunan Nararya Kirana inilah yang kemudian menurunkan para penguasa Lamajang, yang salah satu keturunannya kemudian menjadi istri Maharaja Rajasanegara yang menurunkan anak Rajanatha yang sekarang bergelar Bhre Wirabhumi, penguasa kedaton wetan. Arya Wirayuda, sebagaimana dengan Bhre Wirabhumi adalah sesama keturunan Nararya Kirana dari satu sisi selain juga keturunan dari bangsawan Wilwatikta.

Itulah mengapa sebelum meninggalkan padepokan, Arya Wirayuda diberi pesan oleh kakeknya untuk mengunjungi tempat para leluhurnya dicandikan, baik yang ada di Lamajang serta yang ada di Tumapel dan yang lain.

Paregreg, Senjakala WilwatiktaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang