Chintya PoV
Jika memang ia tak pantas untukku, lantas mengapa aku harus menangisi kepergiannya? Seharusnya aku bahagia, sebab aku mengetahuinya lebih dulu sebelum aku jatuh terlalu dalam pada cinta yang salah.
"Seberapa hebatkah kau untuk ku banggakan? Cukup tangguhkan dirimu untuk ku andalkan?.." Saat ini aku tengah menyanyi asal di dalam kelasku, karena saat ini guru kimia ku sedang tidak masuk. Alasannya pun tak ku ketahui, tapi.... ah sudahlah, toh aku dan teman-temanku juga senang kalau free class.
Baru saja ingin ku lanjutkan nyanyianku yang tadi sempat terpotong, beberapa seniorku tiba-tiba saja masuk ke dalam kelasku.
"Woe, mereka ke sini mau apa sih?" Bisik Alsa.
"Mana ku tehe." Jawabku.
"Pen sosialisasi bimbel atau ekskul kali." Balqis yang baru saja tiba dari wc, tampaknya mendengar pertanyaan Alsa.
"Bego! Pen sosialisasi ekskul apa lagi? Waktu sosialisasi ekskul paskib, mereka dah bilang kalo itu sosialisasi yang terakhir." Jawabku agak sedikit nyolot.
"Oh iya iya, mereka juga kakel 11, bukan 12."
Saat itu posisi dudukku membelakangi seniorku yang masih berdiri di ambang pintu.
"Assalamualaikum dikadik ku tercintaaaaa."
Hah? Gak salah ini? Ini pan suaranya kak Askar.
Dengan cepat aku langsung membalikkan badan, dan saat itu pun mataku bertemu langsung dengan matanya.
1... 2...
Tak sampai 3 detik, aku memutuskan tatapan itu terlebih dulu.
"Assalamualaikum wr.wb." Ucap kak Askar membuka pembicaraannya.
"Waalaikumussalam wr.wb."
"Yap, jadi kali ini kami dari kelas XI Mia 1 akan menjual beberapa makanan ringan yang telah kami buat untuk memenuhi tugas matematika kami, yakni program linear. Jadi kami harap kerjasamanya. Makanan yang kami jual ini 2000 /cup." Setelah menjelaskan maksud kedatangan mereka, aku langsung memasang headset ke kedua telingaku. Ku anggap mereka hanya sosialisasi saja, dan menurutku itu adalah pembodohan. Berbelanja ke kantin jauh lebih menguntungkan dan mengenyangkan. Pikirku.
"Inya.... Lu gak niat buat beli?" Saat sedang asyik-asyiknya mendengarkan musik, kak Askar tiba-tiba saja datang menghampiriku. Awalnya ku pikir ia akan bersikap bodo amat terhadapku. Nyatanya tidak! Ia masih peduli.
"Makasih. Tapi gue gak lagi laper kak." Jawabku sinis, lalu kemudian menyanyi asal.
Setelah mengucapkan hal itu, kak Askar berjalan menjauhiku, lalu mendekati Alsa. Ku lihat ia sedang membicarakan hal yang sangat serius, tapi aku tak bisa mendengarkannya karena headset yang kini tengah terpasang di kedua telingaku.
Setelah semua seniorku pergi, kelasku yang tadi sempat hening, sekarang kembali terasa tengah berada di dalam pasar. Sangat ribut.
"Nya, lu kenapa sih tadi?" Alsa yang tadi sempat membeli makanan yang seniorku jual, kembali duduk di sampingku.
"Hah?" Tanyaku yang tak bisa mendengarkannya karena headset yang ku pakai.
Alsa, tiba-tiba saja melepaskan headsetku yang sebelah kanan.
"Orang tuh kalo lagi ngomong didengerin! Lu kenapa sih tadi?"
"Kenapa? Maksud lu?"
"Lu tadi gak niat buat beli makanannya kak Askar, padahal asal lu tau, lu satu-satunya siswa yang disamperin sama kak Askar, yang lain kaga."
"Ya terserah gue lah. Yang suruh mutusin dia juga elu pan?"
"Iya sih, tapi gue gak pernah nyuruh lu buat bersikap sesinis itu ke senior! Lu juga kan yang pernah bilang kalo kita itu harus tau diri sebagai junior, dengan cara ngehargain senior."
"Yodah gini, harga dia berapa sih? Sini gue beli!"
Alsa yang terlihat mulai jengkel kepadaku, tiba-tiba saja berdiri lalu meninggalkanku dengan muka yang sok bodo amat. Padahal dalam hati, aku merasakan luka yang teramat. Aku ingin menceritakan semuanya kepada Alsa, tapi aku takut jika saja masalahku lagi-lagi menjadi beban baginya.
Aku ingin dewasa dengan cara yang benar, tatapi mengapa rasanya cara yang ku pakai sekarang ini tampak salah?
Alsa. Orang yang paling ku harapkan ada untuk mendengarkan curhatanku, nyatanya kini pergi meninggalkanku sendiri, tanpa ingin tahu seperti apa sebenarnya perasaanku. Aku akui, bukan dia yang salah. Tapi aku. Keegoisanku membuat semua orang menjauhiku, namun untuk menghilangkan keegoisanku itu, tampaknya akan sangat sulit. Sebab ialah kekuatanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sarcastic!
أدب الهواة"Kembalikan kebahagiaanku, dan akan ku jaga ia hingga bibirku tak lagi mampu untuk berucap, dan hingga hatiku tak lagi mampu mererasakan rasa sakit." C