12: Diaries on Paperplane
Berbekalkan dengan sebungkus roti, mengisi minggu pagi di kantin rumah sakit, mereka saling menatap saat masing-masing kepala ditelungkupkan di atas meja.
“Gue capek, nat.” ujar Aira membuka suara, setelah sekian lama hening sambil tatap-tatapan.
Pukul 8 pagi, di Kantin rumah sakit menjadi latar kencan kedua mendadak mereka atas permintaan Aira. Masih dengan kedua mata sembab, pikiran yang berkecamuk, sorot yang menunjukkan pedih, Aira benar dilanda gundah kali ini.
Sejam yang lalu, Mama Nata sudah selesai dioperasi dan akan sadar beberapa jam kemudian. Syukur, operasinya berjalan lancar dan Nata masih bersama mamanya.
Nata menyingkirkan anak rambut Aira yang menutup mata cewek itu, lalu tersenyum tipis, “Kenapa, hm?”
Aira menutup matanya, pening sekali rasanya. “Gue gak tau milih siapa. Mereka berdua terpaksa nikah, dan gue adalah kesalahan itu.”
Nata diam mendengarkan, memijat kecil pelipis Aira dari samping.
“Gue bingung, Kalau gue kesalahan, untuk apa memilih. Gak ada hak.” Lirihnya lagi. Ia meremas tangannya yang bergetar dan berkeringat, menahan sesak di dada.
“Lalu?”
Aira berdecak, “Ck. Kasih gue saran.”
Nata menatap Aira lembut, “Yang salah itu orangtua lo, Gak nahan hormon.” Nata tersenyum jenaka, “Bukan lo.”
Aira menggeplak kepala Nata, memilih menegakkan duduknya, tak mendapat solusi sama sekali dari si kekasih. Aira mengunyah rotinya dengan bringas, tak peduli tatapan gemas dari Nata.
“Kalau gak mau memilih, jangan pilih, Ra. Kalau gue jadi lo—” Nata tersenyum, “Gue bakal pertahanin keluarga gue. Gak peduli ada nenek-nenek maksa biar gue iyain aja mereka cerai. Gue juga punya hak sebagai anak. Masih ada jalur mediasi, tenang.”
Aira mengangguk, “Tapi bunda sakit karena gue ngelawan.”
“Lo sih, ngelawan jangan pake urat. Yang lembut tuturnya.” ujar Nata.
“Itu gak ngelawan, bego.”
Nata tertawa, “Gue keren kan ngasih saran tentang keluarga?”
Aira mengangguk acuh tak acuh.
“Jadi, di masa depan, mau jadi anggota dari keluarga yang gue bentuk gak?”
Aira membelalakkan matanya terkejut. Rona merah samar di pipinya.
Dan menjejali mulut Nata dengan roti adalah pilihan terbaik.
“Dasar Micin lo!. Masih SMA udah mikirin buat keluarga. Dasar Terong gatel lo!”
;
Sudah sejak beberapa minggu, Aira rutin datang ke rumah sakit. Sekedar melihat keadaan bundanya yang membaik. Hanya stroke ringan, bundanya sekarang baik-baik saja. Hanya susah berjalan saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dirimu Elegiku [COMPLETED]
Teen Fiction[SEQUEL OF TERUNTUK PESAWAT KERTASKU] ATTENTION : don't copy my story! Use your own head! ••• "Setiap kisah harus memiliki akhir" Takdir mengisahkan Aira dan Nata hingga akhir.Sayangnya Nata tak percaya bahwa akan ada akhir meski dia percaya Takdir...