Bab 14

17.3K 1.3K 68
                                    

Hidup itu tidak bisa direncanakan, apa yang direncanakan biasanya tak berjalan sesuai dengan yang diimpikan. Najma di dalam Villa merasa amat sangat bosan. Pram mengunci seluruh jendela dan pintu yang ada disini. Ia hanya bisa berpuas hati melihat betapa lebatnya hutan yang ada di samping kiri Villa melewati jendela. Di dalam hutan itu ada sebuah sungai kecil yang airnya begitu jernih. Pram pernah mengajaknya ke sana beberapa kali.

Najma yang sedang melamun terlonjak mendengar pintu depan Villa di gedor dengan sangat keras. Najma begitu ketakutan disini tidak ada orang jangan-jangan itu orang jahat yang ingin mencelakainya. Menjadi istri dari seorang pengusaha yang banyak memiliki pesaing tidaklah mudah, beberapa kali musuh Pram pernah mencoba untuk membuatnya celaka.

Badannya kini gemetaran, sementara wajahnya terasa panas mewakili rasa takut di hatinya yang membuat ia mulai kesusahan untuk bernapas secara teratur. Najma mendengar suara yang begitu familier memanggil namanya. Melawan rasa takut di hatinya Najma memberanikan dirinya untuk mendekati arah pintu depan, semakin jelas terdengar suara siapa yang memanggil dirinya.

"Papa!" Najma setengah memekik. Ia berjalan ke arah jendela membuka tirai yang menutupinya. Ia melihat Bagas beserta orang kepercayaannya. Bagas melihat anaknya segera menghampiri.

"Buka pintunya." Najma kini tersadar ia tidak bisa membuka pintu karena dikunci dari luar oleh Pram.

"Pintunya dikunci aku tidak bisa membukanya." Najma melihat ekspresi Ayahnya berubah marah. Bagas terlihat membicarakan sesuatu dengan orang kepercayaannya mereka kemudian sepakat untuk mendobrak pintu Villa.

"Ikut Papa pulang!" Bagas tanpa basa-basi langsung menarik tangan Najma, ia menyeret Najma dengan kasar mengikuti langkah kakinya.

"Aku tidak mau pulang." Najma meronta, menyentak cengkraman Ayahnya hingga terlepas.

"Ibumu sakit. Apa begitu buta kamu dengan cinta sampai orang yang telah melahirkanmu sakit kamu tidak peduli." Najma merasa tersindir oleh ucapan Ayahnya.

"Apa Papa memperbolehkan aku menemui Mama?" Najma bertanya dengan ragu, mendengar Ibunya sakit ia merasa khawatir sudah lama ia tidak bertemu dengan wanita yang sudah melahirkannya itu.

"Aku datang kesini karena Mama yang menginginkan. Sekarang tinggal pilih. Kamu ikut Papa menjenguk Mama selagi dia masih hidup atau menjenguk makamnya." Najma menegang apa sakit Ibunya begitu parah? haruskah ia pergi? tapi bagaimana nanti dengan Pram.

"Tunggu sebentar, aku ingin menghubungi Pram."

"Tidak usah sebut pria itu di depan Papa, sekarang masuk ke dalam mobil. Ikuti kata Papa jika kamu masih ingin melihat Mama." Tidak ada pilihan. Najma terpaksa masuk ke dalam mobil Ayahnya.

Ayahnya Najma kenal sebagai sosok pria yang hangat dan penuh kasih berbeda dengan yang sekarang. Ayahnya tidak pernah membentak dirinya apa lagi memperlakukan ia kasar seperti tadi. Melihat Ayahnya yang nampak dingin Najma memilih menatap keluar, ia ingin menghapal jalan kalau saja nanti Ayahnya tidak mau mengantarkan ia pulang.

Bagas menatap putrinya dalam diam, ingatannya melayang pada saat dimana pertama kali ia menggendong putrinya. Ketika Najma kecil berhasil mengucapkan kata Papa dengan sempurna ia merasa bangga. Najma kecil yang dulu begitu nakal sering kali membuat khawatir orang tuanya. Ketika pulang bermain ia selalu membawa luka di tubuhnya entah itu karena jatuh dari sepeda atau berkelahi dengan teman sebayanya.

Istri Titipan (New Version)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang