Dita salsabila

48 4 0
                                    

Jakarta, 4 Februari 2009. "pagi ra" kata seorang sahabatku, sahabat karib yang sudah ku anggap sebagai saudara kandung sendiri, melalui hari-hari bersama, susah senang tak pernah sendiri. Kami sudah berteman 10 tahun lamanya, berkenalan sejak TK, sebelum bisa membaca bahkan untuk mengeja saja terasa susah.

Dia adalah Dita, Dita salsabila. Orang tua kami juga merupakan fartner kerja, bergerak dibidang bisnis, selalu berbisnis hingga tak ada waktu untuk kami. Kami terbiasa sendiri, rumah kosong tak ada yang mengisi. Kami bergantian, tidur dirumah ku atau dia. Dikamarku, kami selalu mengabiskan waktu dengan serial drama yang ber genre romantis, Dita sangat menyukainya, selalu baperan jika melihat pria tampan pelaku drama.

Malam ini, tepat giliranku untuk tidur dirumah Dita. Seperti biasa kami hanya menghabiskan waktu untuk serial drama. 23.45 kami lapar, dan sebuah ide terlontar. "bagaimana jika kita masak fried rice, nasi goreng ala Dita" saran Dita kepadaku, tak butuh waktu lama untuk mengiyakan ajakan itu. Mulailah kami mengupas bawang, mengiris tomat dan meracik bumbu sambil bernyanyi dan tertawa. Hingga selesailah nasi goreng kami, tanpa rasa gengsi kami menghajar nasi goreng itu, selain karena rasa lapar, memang tidak ada rasa gengsi saat kami sedang berdua. Selesai makan kami merasa kenyang dan mengantuk. Mulailah Dita tertidur yang diikuti terpejamnya mataku juga. Namun ada satu hal yang kami lupakan yaitu mematikan kompor yang masih menyala.

"SEHABIS GELAP, TERBITLAH TERANG"

Keadaan gelap akibat asap yang bertebaran kini berubah dengan terang akibat kobaran. Suasana hening berubah jadi kekacauan, semua panik, mengeluarkan teriakan bahkan mengajukan saran terkaan. Lari karena kepanikan hingga Dita lupa untuk membangunkan ku. "api-api" semakin keras teriakan kerumunan warga yang sontak membangunkanku. Aku terjebak antara pintu kamar yang telah habis terbakar serta nafas yang mulai tersendak karena asap mulai memasuki rongga paru-paruku. Kobaran yang kulihat begitu membara, tak ada satupun yang mampu untuk menjangkau ku kala itu, mengingat resiko yang terlalu tinggi jika berani untuk mendekati.

Tak ada satu orang pun yang berani, hingga akhirnya,"ra, ra, zahraaaaa" terdengar teriak Dita memanggil namaku, dia datang menjemputku, entah hal bodoh apa yang membuat dia seberani itu.

" kita senang bersama, susahpun harus begitu juga"

kata dita disela-sela kepanikan dan berupaya untuk menenangkanku. "tenang, kita akan baik-baik saja". Sungguh yang kupikir kala itu bagaimana untuk membalas jasanya jika kami berhasil selamat dari kobaran sijago merah. "tunduk, jangan liat, terus berjalan" kata Dita seraya memelukku. Kami berlari, terus berlari, berharap kami bisa melewati situasi ini. Namun naas reruntuhan kayu menimpa kaki Dita yang membuat langkahnya terhenti. "lari tinggalkan aku disini, aku tak apa" kata dita. Dia mendorongku, aku berlari sambil menangis, berharap ada seseorang yang berhasil menyelamatkan Dita. "tolong pak, teman saya Dita, di lantai dua, tertipa" kataku terbata-bata.

Dengan sigap petugas pemadam berlari kelantai dua untuk mencoba menyelamatkan Dita. Aku berdoa, tak henti-hentinya berharap ia dapat terselamatkan. Hingga akhirnya kulihat petugas pemadam keluar sambil menggendong Dita dan langsung membawanya ke ambulan. Aku tak dapat melihatnya, karna dengan sigap mereka membawanya kerumah sakit terdekat.

"kini dunia kita sudah berbeda"

Kepanikan meliputiku kala menunggu dokter keluar dari ruang UGD tempat dita dioprasi. Mencaci, menghardik, dan mencela diri sendiri hanya itu yang dapat kulakukan. 90 menit berlalu akhirnya dokter keluar dari ruangan itu. "dok bagaimana keadaan sahabat saya?" aku orang pertama yang mengajukan tanya, lalu di ikuti oleh kedua orang tua Dita. Namun rasanya ingin kutarik semua pertanyaan itu, berharap aku tak pernah untuk menanya, memutar balik waktu dan mendapat jawaban baru. Karena jawab yang ku dengar tak sesuai dengan yang kuharapkan "kami telah berusaha sekuat tenaga namun nyawa Dita tak dapat diselamatkan" aku menangis sejadi-jadinya, berlari menuju dita sambil berharap dokter itu berbohong. Aku tak dapat menerima kenyataan bahwa sahabatku telah pergi untuk selamanya. Terus kuhardik diriku, memukul, mencaci, memaki karena ini semua adalah salahku. "kamu yang bernama Zira? Ini ada surat dari Dita untuk anda" kata dokter anwar sambil menahan tanganku.

"TUHAN KEMBALIKANLAH IA WALAU SEDETIK SAJA"

"Zira berhenti menangis, berhenti menyalahkan dirimu sendiri. Ini bukan karenamu, karena takdir memang sudah tersirat walaupun tidak tersurat. Zira aku akan tetap bersamamu walaupun kini dunia kita telah berbeda. Hentikan tangismu sayang, agar aku tenang menuju surga.
Dita"

Secarik pesan dalam kertas yang Dita tuliskan kepadaku, mungkin sedikit mengurangi rasa sesalku.

***terimakasih telah membaca, jangan lupa likenya yaa.
Tinggalkan kritik dan saran juga :)

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 03, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

DIFFERENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang