"Seorang bapak taksi memberitahuku bahwa pada dasarnya semua perasaan manusia itu universal dan dapat diwakili oleh sebuah emoticon. Menurutmu, benarkah itu, Jimin?"
"Tidak. Salah. Konsep yang salah."
Jimin mungkin sering dilihat seperti bencana, padahal menurutku ia baik-baik saja. Presensi Jimin mungkin terlihat seperti kabut yang mencelakai, padahal menurutku ia adalah pemuda manis yang setiap malam mencuci kaki. Park Jimin mungkin lebih sering dijauhi, padahal menurutku ia pantas didekati.
Park Jimin mungkin akan terlihat aneh ketika meletakkan sebuah gelas kaca transparan yang berisi air di atas meja, lalu menjatuhkan kepalanya, miring menatap si gelas.
Aneh?
Bagiku itu unik.
Suatu yang luar biasa, Jimin membuat semua jadi lebih rumit tapi berwarna.
Mereka semua, yang menganggap Jimin tak ada, hanya tahu dua hal: yang pertama bahwa Jimin itu anak haram dan kedua bahwa Jimin itu bodoh-sebodoh-bodohnya.
Tiga kata bodoh untuk Jimin dari mereka.
Satu kata bodoh dariku untuk mereka.
Mereka keliru, salah besar.
Jimin itu pintar. Jimin itu jenius, kalau kau mau tahu. Kekeliruan mereka ini kadang membuatku meringis.
Lalu, satu hal lagi yang membuat hatiku terluka jika menatapnya. Aku teringat akan ibunya, Ibu Jimin.
Ibu Jimin selalu menyendiri di kamar mandi. Entah apa yang ia lakukan, namun yang pasti ia tak berani bertatap mata dengan Jimin.
Ibu Jimin selalu di kamar mandi. Diam seperti bisu, tak menyahut seperti tuli. Padahal Jimin butuh didengarkan. Padahal Jimin butuh kesempatan.
"Ibu, tadi siang, sekolah kami memenangkan juara paduan suara tingkat nasional. Aku salah satu anggota paduan suara, Ibu bangga tidak?" Itu kata Jimin, tapi sang ibu diam. Pemuda itu bersandar pada pintu kayu yang dipasang di depan kamar mandi demi menutupi privasi. Ini memuakkan, sungguh. Tetapi baginya, kata memuakkan sudah jadi kebiasaan.
Begini terus. Dari dulu.
Jimin juga butuh afeksi.
Jimin juga butuh ruang untuk dibagi.
Tapi, yang ia dapat setiap kali menginjakkan telapak kaki di lantai beku rumah adalah suara diam si ibu, juga tendangan, pukulan, sayatan, celaan, hinaan dari si ayah.
"Dasar bodoh! Ibumu itu sudah jadi bisu karena tak mau bicara denganmu! Ia muak dengan anak haram sepertimu!" Ayah tirinya memang agak kasar.
Setiap kali selesai dipukuli si ayah, Jimin selalu bersyukur. "Untung saja aku tak punya adik. Kalau punya, mungkin sudah habis dipukuli ayah." Begitu katanya.
Ya, betul. Jimin selalu menatap sesuatu dari sudut pandang yang berbeda. Saat kutanya bagaimana caranya, Jimin selalu menjawab, "Cukup mudah. Letakkan saja gelas kaca transparan dengan air di atas meja, lalu taruh juga kepalamu di sebelahnya. Miring, menghadap ke gelas kaca. Dari situ, kau akan melihat segala hal dengan pandangan berbeda. Begitu, sih, caranya."
Kalau ini pelajaran fisika, mungkin sang guru menamainya sebagai pembiasan di air.
Mungkin begitu.
Hmm ... maksudku, kita sedang membicarakan Park Jimin, kan?
Park Jimin suka berlagak tangguh, padahal lemah. Park Jimin suka berlagak bisa semua, padahal tak tahu caranya. Park Jimin selalu baik pada semua, padahal ia tak baik-baik saja.
Hei, kawan, dengarkan aku. Park Jimin ini adalah orang yang pantas kau panggil sebagai si muka dua. Sebab kenyataannya, Jimin selalu menutupi apa isi hatinya.
Waktu itu, aku berkata pada Jimin, "Seorang bapak taksi memberitahuku bahwa pada dasarnya semua perasaan manusia itu universal dan dapat diwakili dengan sebuah emoticon. Menurutmu, benarkah itu, Jimin?"
"Tidak. Salah. Konsep yang salah."
"Mengapa demikian?"
Jimin malah tersenyum, padahal matanya menunjukkan hal yang berbeda. "Kalau semua perasaan manusia itu sama, maka takkan ada yang namanya muka dua."
Lantas aku bertanya lagi, "Jimin, mau tinggal di rumahku? Ayah mengundangmu makan malam besok."
Mendengar itu, senyum Jimin pudar.
"Park Mina, katakan pada ayahmu, aku tak akan datang. Sudah cukup. Aku sudah menolak ratusan kali."
"Dan ayah akan mengundangmu ribuan kali. Ayolah, Jimin. Sekali saja, maka semua akan selesai sekejap mata."
Esoknya, Jimin ikut pulang ke rumahku. Lalu bertemu dengan ayah. Lalu berseteru dengan ayah.
"Tinggal bersama kami, oke? Jal-"
"Pak, maafkan saya sebelumnya karena sudah menyela. Tapi menurut saya, Anda tidak berhak untuk menamai atau memanggil ibu saya demikian. Kami mungkin terlihat begitu menyedihkan dibanding Anda yang memiliki segalanya. Tetapi, bukankah Anda yang lebih menyedihkan karena sudah membuat hidup seorang gadis berantakan? Saya yakin Anda sudah paham. Kalau begitu, izinkan saya pulang."
Faktanya, aku dan Jimin berbagi ayah.
Fakta yang lebih mengejutkan adalah setelah hari itu, aku tak pernah melihat Jimin lagi. Jimin hilang bak Pluto yang berorbit oval hingga kemudian fotonya muncul di halaman depan koran.
'Seorang pelajar meninggal karena overdosis.'
Itu headlinenya.
-
Selamat ulang tahun Jiminnnnnnn. Ciee yang kemarin nangis udah tambah tua aja ni. Huhu, tetap young forever dan terus berkarya ya.
P.s. Kok tulisanku jadi begini ya :')
P.s.s. I edited a thing. Gtg need some time to rest.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.