Park Jihoon menghela napas lelah.
Menggunakan lengan yang tidak dilumuri busa, pemuda itu menyibak rambut bagian depannya yang sudah hampir menusuk mata.
Hari sudah cukup larut dan ia masih di restoran, mencuci gelas-piring dan peralatan memasak lain yang telah seharian ini digunakan.
Ia tidak sendiri.
Seseorang yang baru saja selesai menyusun bahan makanan di dalam lemari pendingin, kini sudah berada di sampingnya, bersandar pada satu siku di atas pantry yang setinggi pinggangnya. Tubuhnya ia hadapkan pada sosok Jihoon yang masih serius menggosok spatula.
Tidak ada suara selain dari benda-benda yang Jihoon pindahkan dari bak cuci ke tempat pengeringan dan suara kucuran air dari keran. Berlangsung beberapa menit lamanya.
Sampai akhirnya Jihoon melirik pria berbahu lebar di sampingnya hingga mata mereka bertemu.
Ia sempat mengamati, si pria masih memakai seragam restoran: kemeja putih dengan apron coklat gelap seperti yang Jihoon kenakan. Kedua lengan kemejanya terlipat hingga Jihoon bisa melihat jelas tendon-tendon yang menonjol tegas di lengan bawahnya--yang orang-orang bilang tanda seorang pekerja keras.
Setelah menyudahi pengamatannya, Jihoon membiarkan kontinuitas kesunyian mereka selagi bisa merasakan tatapan Daniel yang tidak pernah beralih.
Beberapa detik berlalu, ia bahkan bisa mendengar napas pria itu.
Beberapa detik berikutnya, ia akhirnya menyerah dan berkata-
"Pilih salah satu: membantuku, atau pergi dari sana." -dengan nada menyebalkan.
Namun pria yang dimaksud, Kang Daniel, justru terkekeh geli.
Ia tahu maksud ucapan itu, tapi Jihoon yang terganggu tidak pernah terlihat menyebalkan di matanya, terlepas dari perangai Daniel yang memang tidak mudah tersinggung.
"Kau selalu berhasil mengabaikanku. Sekarang tidak bisa?"
Jihoon menghela napas lagi, terlalu lelah untuk mendebat, "Lakukan saja semaumu."
Tangannya kembali sibuk menggosok frying pan dan beberapa piring yang tersisa.
Daniel, masih berdiri disana, dan Jihoon berusaha keras mengabaikannya.
"Kau ini terlalu bersemangat ya, sampai pekerjaan Hyungseob kaukerjakan juga?"
Jihoon tidak menoleh, hanya berdecak pelan sebelum berkomentar, "Kau tidak kasihan melihatnya pucat pasi seharian ini? Aku bahkan sudah menyuruhnya pulang saja sejak siang, tapi dia keras kepala."
"Kupikir kau punya karyawan lain untuk disuruh mencuci piring."
Jihoon menoleh dan menggedikkan dagu menunjuk Daniel, "Tentu, kau lah karyawan itu, tapi kau pembangkang yang tidak mau disuruh." Ia berusaha terdengar kesal, tapi lengkungan senyum itu tetap hadir di bibirnya meski sangat tipis.
Daniel tidak menanggapi selain terkekeh tanpa suara.
Menggemaskan.
Kekasihnya ini.
Jihoon mulai paham Daniel benar-benar tidak akan mengulurkan tangan untuk membantu, ketika pria itu tetap pada posisinya meski Jihoon sudah mulai mengeringkan piring-piring yang bertumpuk dengan lap bersih.
Pria tinggi itu bahkan sudah melompat duduk di atas pantry, dengan santainya.
Dan ketika Jihoon meliriknya, ia hanya mendapatkan reaksi satu alis yang terangkat.
Jihoon mendengus geli, lalu kembali pada pekerjaannya karena ingin semuanya cepat selesai.
Kali ini hanya detik jarum jam yang memecah hening. Di detik ke-10 dalam hitungan Jihoon, ia berkedip cepat karena merasakan sesuatu yang dingin menyentuh hidungnya.
Tapi kemudian ia membuka matanya lagi dengan cepat dan menyadari jari Daniel yang baru saja menyentuhnya di sana.
"Untuk apa itu?" si pria manis meletakkan piring datar yang sudah dikeringkan dan bertanya tak mengerti.
"Ingin saja." Daniel memplester cengiran lebar.
Merasa itu tidak penting, Jihoon hanya menggeleng kecil dan melanjutkan lagi pekerjaannya.
Tuk.
Daniel melakukannya lagi--mencolek hidungnya, dan reaksi Jihoon hanya mengernyit dan membiarkan.
Tuk.
Lagi.
"Aish, hyung."
Alis Jihoon mulai bertaut, tanda mulai terganggu. Dan Daniel malah suka melihatnya.
"Menggemaskan."
Tuk.
"Yaa! Kau sebenarnya menempelkan sesuatu di hidungku, kan? Apa? Saus? Darah ikan? Ingus? Hah?"
Daniel tidak bisa menahan tawa, bahkan ketika ia refleks menutupi kepala dengan lengannya karena Jihoon sudah mengangkat piring yang ia pegang, berpura-pura akan memukulnya dengan itu.
"Sekali lagi kau melakukan itu, kepalamu tidak akan selamat." pemuda Park itu mengancam.
"Cepat selesaikan, aku mulai mengganggumu karena aku mulai bosan menunggu."
"Demi Tuhan, kalau ingin cepat kau harusnya membantuku, bukan mengganggu."
"Hahaha. Chef galak sekali."
Hhhh... sabar, Park Jihoon.
"Tapi malah terlihat semakin manis."
HHHH... Jihoon bisa gila.
Tuk.
"Aku serius, Hyung. Piring ini akan pecah di kepalamu."
"Hahaha. Ayo pulang, itu tidak perlu dikeringkan, besok juga sudah kering sendiri."
Jihoon pura-pura tidak mendengar. Lagipula hanya tinggal beberapa wadah lagi, dan ia sudah bisa berbenah untuk pulang.
Dari sudut matanya, Jihoon bisa melihat Daniel turun dari pantry dan melepas apron.
"Dasar keras kepala."
Memang terdengar sangat pelan, tapi Jihoon masih bisa mendengarnya dengan jelas, dan ia dengan sukarela memberikan tatapan mematikan pada pria tinggi itu.
"Ow, maaf, aku akan membantumu."
"Terlambat, sudah selesai semua."
"Yaah..." Daniel memasang ekspresi menyesal yang berlebihan, dan Jihoon memutar bola matanya meski kemudian tidak bisa menahan tawa.
Lalu-
Tuk.
"Apa sebenarnya yang sedang kaulakukan?" Jihoon menggosok hidungnya yang kembali dicolek dan melihat telapak tangannya, mengecek apakah Daniel memang sengaja melakukan itu untuk membuat wajahnya konyol.
Tapi tidak ada apa-apa di tangannya. Bahkan meski hanya setitik debu.
"Aku cuma gemas, hidungmu terlihat lembut seperti tahu."
Jihoon tertawa dengan semburat merah yang mulai menyebar di pipinya, "Kau memang tidak terduga."
Tuk.
"Aish."
"Hahahaha!"
--
--
A/N:
Tolong jangan hujat aqu karena kegajean ini 😂
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Gestures [NielWink]
FanfictionDitulis kalau ada ide saja, jadi tidak ada tamatnya. [Alternate Universe] Drabbles and oneshots about sweet gestures in Kang Daniel and Park Jihoon relationship. So, well... it's mostly fluff. WARNING: 📍 Shounen-ai/Yaoi/Boys love 📍 Pairing: NielWi...