Prolog

29.1K 1.9K 108
                                    

"Aku ingin memutar waktu, "

"Untuk apa?"

"Aku ingin kembali ke hari aku mengenal kamu. Aku ingin, mengacuhkan kamu agar kita tak pernah saling mengenal....."

Kalimat itu tertahan di bibir Janu yang gemetar. 

"Agar kita tak perlu saling mencintai, dan kamu tak perlu menderita karena aku." Tutup Janu.

Ruangan seketika kedap waktu, Tuhan seolah menjentikkan jari dan suara di dunia berhenti di berbunyi. 

"Dengarkan ini, " Setelah menahan sesuatu yang entah apa, Maura bersuara.

"Aku, akan ikut kamu kembali ke masa itu. Aku akan tetap memastikan kita saling mengenal seberapa hebat pun kamu mengacuhkanku. Aku akan tetap membuat kita saling mencintai....."

Tangan Maura terkepal. giliran bibirnya yang bergetar.

"Dan aku akan tetap meyakinkan kau, aku tidak menderita!"

****

Bagi seorang anak lelaki, hidup adalah tentang mengantar kepergian demi kepergian. DI sudut kelas, mata cekungnya melihat meja tak berkesudahan. Sambil duduk dan tanpa ditemani siapapun, ia memutar semua kepergian dalam hidupnya.

Rasanya, tak ada lagi satupun yang bisa melukai dirinya. Ia anak lelaki yang telah menghadapi banyak kehilangan. Tak pernah takut kehilangan apapun lagi.

"Janu"

Beberapa hari ini tak seperti biasanya, ia sering melamun saat jam istirahat sekolah. 

"Janu!"

Ia menoleh pelan ke arah suara. Tepat di sebelah mejanya Maura berdiri dengan wajah berkeringat. Perempuan berambut ikal gantung dan bermata bundar, tersenyum.

"Lihat! Aku berhasil mengumpulkan satu kresek gelas plastik bekas!" Maura berseru, di pangkuan kedua tangannya sekantung gelas plastik yang sudah dikeringkan.

Janu tak mau melihat wajah Maura.

"AKu dapet dua kantung kresek, jan!" seru seorang lelaki yang menghampiri, wajahnya juga berkeringat.

Namanya Pangalila, anak seorang konglomerat. Saat SD pangalila adalah musuh bebuyutan Janu, sering mengejek dan merebut uang saku atau jajanan Janu. Saat SMP mereka bersekolah di tempat berbeda, dan saat SMA mereka kembali satu kelas dan malah jadi berteman dekat.

Maura dan Pangalila mengumpulkan gelas plastik bekas dan menjadikannya satu kantung besar. 

Janu masih tak mau melihat wajah mereka, hanya menatap gelas-gelas plastik itu dan ingin sekali marah. Ia berdiri, tangannya menyambar gunungan gelas plastik yang sudah tersusun di sudut kiri mejanya hingga berserakan. 

Kelas sedari tadi sebenarnya ramai, seketika Tuhan menjentikkan tangan dan membuat ruang kedap waktu dan suara. Janu melangkah keluar, menuju toilet. Tak ada yang berani memanggil Janu. Para murid hanya menatapnya, Maura dan Pangalila mematung di tempatnya.

Di toilet, Janu menangis. Terisak-isak. Beberapa kali pintu digedor oleh murid yang ingin masuk toilet, Janu menendang pintu dari dalam. Gedoran berhenti dan ia terus menangis. Hingga bel istirahat selesai berbunyi, Janu kembali ke kelasnya. Hanya mejanya yang kosong, di kaki mejanya gelas plastik yang tadi berantakan sudah tersusun dan terbungkus plastic bag

Jam pulang sekolah Janu membawa kantung berisi gelas plastik, mengikatnya di bagian depan sepeda BMX berkaratnya yang biasa ia pakai memulung. 

"Janu, habis kita ngerjain PR. Baru kita cari sampah plastik lagi, ya. PR dulu yang harus dikerjakan pokoknya" seru Maura dari sepedanya. 

Mereka bersepeda beriringan menuju rumah Janu. Sebuah Alphard putih mobil tiba-tiba berhenti di belakang mereka. Maura menoleh karena menyadari, Janu tetap mengayuh  sepedanya santai.

Pangalila mengeluarkan sepeda lipat dari dalam mobil. "Kok gak nungguin aku sih!" Pangalila mengomel, Maura tertawa. Pangalila memberi kode pada supir mobil, lalu mobil yang tadi dikendarainya memutar balik dan pergi. Mereka segera menyusul Janu dengan sepedanya.

Sampai di rumah Janu, Janu membuka buku pelajarannya dan mulai mengerjakan PR sekolah. Maura menimbang tumpukan gelas plastik yang sebelumnya sudah terkumpul, setelah itu baru ikut mengerjakan PR di meja setinggi 30cm ruang tengah rumah Janu.

Pangalila baru masuk setelah menanti supir mobil tadi membawakan bungkusan makan siang untuk mereka bertiga. Kemudian supir itu kembali pergi.

Janu berhenti mengerjakan PR-nya,  Maura tahu betul gelagat Janu jika sudah berhenti mengerjakan PR. "Kamu gak bisa ngerjain soal ini?" Tanya Maura setelah melihat lembar buku PR milik Janu dan menemukan beberapa soal yang masih kosong. Tak lama Maura menjelaskan bagiamana cara menyelesaikan soal tersebut, Janu kembali mengerjakan sesuai penjelasan Maura.

Selesai mengerjakan PR Pangalila membawa piring dan menyiapkan bungkusan makanan. Mereka lahap makan siang. Janu belum lagi bersuara, ia menyantap makanannya dengan tatapan kosong. Lebih kosong dari rumah itu.

Sementara Maura dan Pang, (Pangalila lebih senang dipanggil pang. Katanya terdengar lebih keren, seperti anak punk, meski rambutnya klimis dan berperawakan selalu rapi.) membicarakan akan berangkat kemana untuk memulung hari ini, Janu tetap diam. Ia masih melamun meski makanan sudah ia habiskan.

Tak lama Janu berdiri. "Bentar, minum dulu" Tahan Maura, diikuti tangannya yang menyuguhkan segelas air putih. "Kalau habis makan, minum air putih dulu." Janu menurut.

Janu masuk kamar menggganti bajunya, Maura dan Pang pun berganti baju di kamar mandi dengan baju gnati yang mereka bawa dalam tasnya. Dengan sepeda masing-masing, mereka menjelajahi jalan demi jalan, komplek demi komplek mengumpulkan sampah plastik bekas. 

Sepeda mereka masing-masing telah dimodifikasi bagian depannya untuk dapat mengikat kantung kresek yang berisi sampah plastik. Beberapa tetangga bahkan ada yang sudah memiliki tempat sampah khusus plastik. Tahu Janu selalu memulung.

Tepat pukul 4 sore, mereka kembali ke rumah, mengumpulkan semua hasil memulung dan pergi ke pengepul. "Awas kalian ketagihan cari uang, malas sekolah nanti" cibir pengepul, sambil memberikan beberapa lembar uang dua ribu.

"Jan, punya anak buah kamu sekarang?" cibir sang pengepul lagi. Janu tak menghiraukan perkataannya. 

sesampainya kembali di rumah Janu, Maura dan Pang bersiap pulang. "ini, kita dapat banyak hari ini. yay!" Maura menyerahkan hasil penjualan miliknya dan Pang pada Janu.

"Bukan milikku" Janu Akhirnya membuka mulut. 

"Hey, sampe kapan?!" Kini, nada Pang sedikit tinggi karena sebal.

Janu masih tak menghiraukan. membereskan bekas makan yang tak sempat dibereskan sebelumnya. 

"Jan, kami tidak peduli. Uang ini juga bukan milik kami, kami ikut memulung karena dirimu. Jadi ini milikmu!" Pang yang sebelumnya sempat menyambar uang dari tangan Maura, kini meletakkan uang itu di meja beserta hasil dari beberapa hari lalu yang juga tak mau diterima Janu.

"Aku tak pernah meminta kalian ikut" Janu masih dengan keputusannya.

Menyadari Pang mulai kesal, Maura kembali angkat bicara. "Janu, " Matanya memohon. "Tidak apa, tidak usah merasa membebani" Maura tahu betul yang jadi pokok pertentangan batin Janu.

Janu berdiri, "Bukan punyaku!" Tegas Janu. Ia menuju kamar, dan membanting pintunya tertutup. Maura dan Pang masih di tempatnya. Bertanya-tanya sekaligus kesal. Tapi mungkin rasa sayang, selalu jadi pelemah mereka. Dan justru karena sayang, Pang berdiri dan ingin menggedor kamar Janu untuk memarahinya, lagi. 

Sepersekian detik sebelum tangan Pang memukul daun pintu kamar Janu, sesuatu menghentikannya. Bahkan Maura yang masih berada di tempat tadi, menyadari itu. Suara isak tangis dari kamar Janu. Marah Pang, lumpuh seketika. Lembaran uang di genggamannya di taruhnya di atas meja tadi. Pang pulang. Maura, masih di sana. berpikir dan merasa. Entah apa yang ada dalam dadanya, tak lama ia juga pulang dengan mata berlinang.


****

Bersambung .....


The Boy, and His LosesWhere stories live. Discover now