cerita

6 1 0
                                    

Sebuah Cerita Di Kereta

Di luar sana hujan deras. Kereta melaju melawan bulir air dan angin yang kencang. Aku menatap keluar. Embun membentuk telapak tanganku begitu aku menyentuh kaca bening yang menampakkan langit kelabu. Petir bersambaran di mana-mana, membuat lelaki yang duduk di sampingku mengernyitkan dahi saat salah satu kilat menampakkan dirinya. Aku melihatnya melepas salah satu earphone yang sedang lelaki itu pakai.

Aku menyandarkan punggungku pada kursi dan menutup mata berusaha merilekskan diri seraya berharap perjalananku ke Malang akan baik-baik saja.

Sebenarnya, bukan hari ini aku harus kembali ke Malang. Terpaksa aku kembali ke kamar kost kecilku sendiri akibat pertikaian kecilku di rumah setelah berpijaknya diriku selama satu minggu di sana.

Ah, di sini dingin. Aku lupa membawa salah satu jaketku yang kulipat di koper unguku semua. Aku meringis, memeluk diri sendiri merasakan sensasi napasku yang ikutan dingin.

Baru saja aku memejamkan mata, seseorang menyentuh lenganku. "Oh, dia," batinku dan menghembuskan napas lega. Beruntung bukan orang jahat, walau aku tidak tau lelaki di sampingku jahat atau tidak. Tetapi, dilihat dari wajahnya, tidak.

Aku menoleh, melihat tangannya menyodorkan satu earphone yang sempat ia pakai padaku. Aku hanya mengangguk sebagai penolakan halusku. Ketahuilah, aku tidak mengenal sama sekali siapa lelaki yang duduk di sampingku ini. Bertubuh tinggi dengan jaket abu-abu dan harum yang menyengat. Sekiranya, mungkin ia seumuran denganku.

Tiba-tiba lelaki itu menyibakkan rambutku pada telinga kananku, dan memasangkan earphone yang sempat kutolak tadi. "Biar gak takut sama petir," ucapnya pelan. Aku hanya mengangguk samar dan menarik napas dalam-dalam.

"Pakai." Ia memberiku jaket hitam yang baru dikeluarkan dari tas yang lelaki itu bawa. "Saya tau, kamu kedinginan. Kalo mau tidur, dipakai. Saya juga mau tidur. Jangan banyak gerak, nanti earphonenya lepas," ujarnya panjang lebar lalu memejamkan mata dengan tangan yang bersedekap.

Aku membuang muka ke arah jendela. Hujan masih deras dengan anak petir. Ujung bibirku tertarik membentuk senyuman. Aku kira perjalananku selama 16 jam akan berisi kekosongan, ternyata tidak.

- aufa

Cup Of NighttimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang