"Cinta adalah sekeping rahasia yang bersemayam dalam hati kita. Ia memiliki peraturan-peraturannya sendiri, dan hanya kita yang tahu."
—Blaise Pascal
๑۩๑๑۩๑๑۩๑
Semenjak dia hidup dengan benar dan mematuhi segala aturan. Nero tidak bisa begitu saja keluar dari pekerjaannya setelah bosnya berkata padanya, "tidak ada gunanya berhenti, tapi kalau kau ingin istirahat sebentar, aku akan berikan beberapa hari, sebenarnya karena kau salah satu pria di sini yang paling bekerja keras" dan tentu seorang Nero tidak sanggup pergi setelah dia mendapatkan begitu banyak kalimat penolakan itu.
Saat itu juga, dia terpaksa hanya mengambil beberapa libur untuk pergi ke Gifu karena harus mengecek sesuatu. Belum lagi, Ibu Yuen datang ke Jepang seminggu yang akan datang karena urusan yang tidak dikatakannya. Sekarang, dia masih tetap bertahan bekerja sampai jadwal libur yang sudah dibicarakan dengan bosnya datang.
Di depan sebuah toko roti lapis yang ada di sekitar Shibuya, Nero duduk di atas palang trotoar sambil mengecek beberapa pesan masuk yang semuanya dari Hinata.
Namun ada rasa penyesalan ketika dia mengakui apa yang sedang terjadi. Mengetahui pula kenyataan bahwa Hinata tidak seperti dirinya—ia amat malu dan takut jika kini justru gadis itu menjauh karena salah paham. Ini pertama kali bagi Nero secara terang-terangan sulit menghadapi ketakutan tentang pandangan orang lain terhadapnya.
"Aku tidak bisa membalas pesan ini," Nero menarik napas dengan begitu banyak roti rosemary parmesan di mulutnya. Ia baru saja bisa makan dengan tenang, tapi pesan-pesan yang masuk ke dalam ponsel-nya malah tidak berhenti dan seluruh rasa laparnya itu menghilang seketika.
Dengan berat hati dia mengabaikan walau nafsu ingin membalas itu menggebu cukup kuat.
Masih dengan menikmati rotinya, seorang wanita cantik berambut merah mencolok duduk di palang yang sama dengannya. Nero melirik wanita itu yang justru meremas jaket yang ia kenakan.
Awalnya Nero tersentak, menjumpai seorang wanita melotot ke arahnya dengan pandangan sendu. Belum lagi, salah satu tangannya justru menyeret sebuah boneka usang yang penuh bekas noda.
Tengah berusaha tetap tenang, tapi pada akhirnya Nero dikagetkan dengan wanita itu makin mendekat bahkan bersandar pada lengannya.
"Ma-maaf," Nero agak minggir, tetapi wanita itu terus mengikuti dirinya, dan lagi-lagi menempel pada lengannya. "Maaf, tapi Anda siapa?"
"Naru—" wanita asing itu bersuara, agak terdengar seakan sedang memanggil namanya, yang benar-benar pengucapannya tidak jauh berbeda. "Apa kau mau membeli satu lagi untukku? Aku sangat lapar, benar-benar lapar!"
Wanita itu sangat harum, sudah pasti dia tidak bisa sembarang disebut orang gila yang sedang berkeliaran—atau kabur dari tempat tinggalnya, sementara wanita itu mengenakan blus putih dan rok sepan hijau tua cukup modis. Kedua kakinya mengenakan stoking hitam dan dibalut oleh sepatu bot berwarna cokelat, serta dia memakai mantel tanpa dikancingkan berwarna sama dengan sepatu botnya. Semuanya sungguh terlihat mewah.
Nero bisa tahu dalam sekali dia melihat, dan dia mulai membanggakan Yamato di balik pintarnya dia bisa mengetahui barang-barang mahal yang dikenakan wanita itu.
"Anda siapa?" Nero minggir sebentar, tetapi wanita itu terus menempel—hanya, Nero tiba-tiba merasa tidak asing pada sosoknya. Kemudian spontan Nero menjauh sambil menjatuhkan roti lapisnya ke trotoar.
"Ah," wanita itu berjongkok setelah menjerit terkejut, lalu segera menepuk-nepuk roti lapis itu. "Sayang sekali, kenapa makanan ini dibuang?" Nero mulai mengecek sekitarnya. Sulit baginya tenang, walaupun orang-orang mulai mengamati tingkah anehnya. "Hei, Naru, kau tidak boleh membuang makanan!" wanita itu berbicara dengan bahasa Italia, apalagi terdengar sangat marah.
YOU ARE READING
E N O R M O U S ✔
RandomKeluarga kaya raya kehilangan putra mereka dalam perjalanan keliling Eropa. Sementara ada dua pria Jepang yang mengadopsi anak laki-laki dan menjadikannya sebagai pembunuh bayaran andal. Tepat dua puluh tahun kemudian, anak laki-laki itu mulai menge...