"Hari ini telah kita dapatkan hal-hal yang lebih mulia daripada alasan pertemuan kita ini, yaitu menahan kemurkaan, menguasai kemarahan, menggenggam kesabaran, dan menghiasi diri dengan kelembutan."
—Pythagoras
๑۩๑๑۩๑๑۩๑
Sebetulnya, ada yang aneh pada sikap perempuan itu—Kushina Uzumaki memiliki beberapa kesempatan melihat ke arahnya entah dengan dasar apa. Pandangannya tidak menusuk, justru sangat lunak, seakan-akan menilai setiap gerakan, tindakan, ataupun tiap Nero mengembuskan napas, hingga mengambil napas pendek. Wanita itu bahkan sering kali tersipu malu.
Nero berdiri di ambang pintu apartemen Hinata. Biasanya dia langsung masuk dan duduk di atas bantalan. Namun terasa aneh ketika ada satu tamu tambahan di luar perkiraannya. Sejak tadi pemuda itu berpikir, bagaimana caranya untuk keluar dari kecanggungan ini.
Perasaan tidak nyaman karena pengakuan, kesalahpahaman, serta membeberkan seluruh apa yang sudah ia sebut sebagai kehidupan. Semua yang sudah Nero akui secara jujur tersebut, benar-benar menjadi bagian yang paling disalahkan dan disesalkan olehnya.
Hinata mungkin baik-baik saja. Gadis itu tidak mencoba mengungkit masa lalu buruk itu, tetapi untuk Nero pribadi, itu bukan sesuatu yang bisa dia syukuri.
"Jadi kau kabur dari rumah?" Hinata berkata jujur pada wanita itu. Kondisi yang memilih untuk terbebas dari keluarganya. Namun sepertinya seorang Kushina tidak menyukai kelakuan gadis itu. "Kau harus tetap kembali ke rumah, tidak ada seorang Ibu yang bisa tidur nyenyak sementara di luar sana, apakah anaknya sudah makan ataukah dia tidur dengan nyaman di atas kasur yang hangat? Seorang ibu selalu memikirkan bagian-bagian itu."
Di dapur kecilnya, Hinata berhenti membuat teh, dia merasa tidak nyaman ketika mendapatkan ceramah mengenai kehidupan. Bukan berarti dia sangat kesal karena lagi-lagi harus dibekali pengarahan.
"Aku bisa merasakan posisi Ibumu, dia pasti sedang menunggu untuk makan satu meja. Dan bertanya bagaimana hari-harimu, apakah melelahkan?"
"Bibi, Ibu bilang, jika aku pasti bisa tumbuh dewasa dengan caraku sendiri. Beliau mengatakan aku akan hidup dengan baik. Dia mengizinkan aku pergi, bukan semata-mata aku kabur dari Ibu ataupun Ayah. Hanya, ada sedikit masalah pribadi."
"Benarkah?" Hinata membisu. "Masalah apa?"
"A-aku..." Nero tiba-tiba menyahut, "akan membeli beberapa camilan di minimarket sebelah." Nero bergegas keluar. Ia sangat sadar, Hinata butuh tempat untuk bercerita. Apalagi, mereka pun telah lama tidak bertemu.
"Apa kau tinggal bersama pemuda itu?" gadis itu menggeleng. Dia kembali mengurus teko teh dan beberapa cangkir yang sudah dia keluarkan dari dalam sepen. "Apakah Hikari pernah ke sini atau dengan ayahmu?"
"Ini apartemen yang baru aku tempati sekitar 2 bulan. Sebelumnya, aku sudah pindah sebanyak lima kali. Karena, aku tidak mengizinkan siapa pun dari keluargaku tahu, kecuali kakakku."
"Seingatku kau anak pertama," Hinata masih diam, setelah dia meletakkan baki ke atas mejanya. Namun dengan Kushina, dia ingat sesuatu.
"Oh, aku ingat. Anak laki-laki Hizashi?" Hinata membenarkan dengan menganggukkan kepala. "Setidaknya aku pernah bertemu dengannya, beberapa kali sebelum melahirkan." Kushina segera duduk di atas bantalan sembari lagi-lagi dia memandangi sekelilingnya.
"Apakah aku boleh tahu, apa yang sedang terjadi sampai pertunangan dibatalkan? Mengapa kalian tidak ingin lagi bertemu kami? Kenapa kalian..." Hinata menunduk secara tiba-tiba. Sejak tadi, dia sudah merasa sabar menahan kesedihannya. "Bibi sangat baik. Walau aku baru bertemu Naruto sekali, tapi kami berjanji untuk menikah nanti," kali ini gadis itu mendongak. Matanya mulai berkaca-kaca, di sela-sela itu, ia tidak bisa lupa pada senyuman manis dari Naruto—seorang bocah cilik yang memiliki umur yang sama dengannya.
YOU ARE READING
E N O R M O U S ✔
RandomKeluarga kaya raya kehilangan putra mereka dalam perjalanan keliling Eropa. Sementara ada dua pria Jepang yang mengadopsi anak laki-laki dan menjadikannya sebagai pembunuh bayaran andal. Tepat dua puluh tahun kemudian, anak laki-laki itu mulai menge...