"Putri? Kamu Vania Putri Laksita Sadewi?" Pria itu melepas kacamata hitam yang sedari tadi bertengger di hidungnya, menampakkan lensa coklat gelap yang bening seperti kebanyakan orang Indonesia. Pria itu tersenyum samar, hanya sebuah lengkungan tipis.
Putri menganga kaget begitu melihat wajah pria yang saat ini berada di hadapannya. Bukan, bukan karena ia kenal pria ini, tapi sebaliknya. Putri tidak mengenal pria ini, mungkin belum, atau mungkin lupa. Eh? Tunggu dulu, tahi lalat di pelipisnya itu... Sepertinya aku pernah melihatnya. Tapi, apa benar? Apa benar aku kenal dia? Tapi kalau iya, dimana? Kapan? Siapa dia?
Raga menatap pria dihadapannya dengan tatapan bingung. Siapa pria itu? Bagaimana dia bisa mengenal Putri? Dia terlihat fasih mengucapkan nama panjang Putri. Vania Putri Laksita Sadewi. Tapi, aku tidak pernah bertemu dengan orang ini sebelumnya. Dan yang ku tahu, dia bukan kakak sepupu Putri yang dulu pernah bertemu denganku sewaktu aku dan teman menjenguk Putri di rumahnya.
"Iya. Saya Vania Putri Laksita Sadewi. Anda siapa?" Akhirnya Putri bisa mengucapkan kata-kata dari mulutnya setelah semenit yang terasa panjang hanya dilanda kebisuan diantara mereka.
"Saya Revan. Ayah kamu tidak bisa menjemputmu. Dia ada urusan dan sekarang, kamu pulang bersama saya." Revan menatap ke arah Raga dengan tatapan... tidak suka?
"Maafkan saya sebelumnya, Pak Revan. Tapi, setahu saya ayah saya tidak pernah punya rekan kerja ataupun saudara seperti Anda. Lagipula, saya baru saja mengenal Anda. Jadi, saya mohon maaf bila tidak bisa percaya dengan perkataan Anda." Putri menatap sopan ke arah Revan yang ditanggapi dengan senyuman tipis di bibir pria itu."Apakah saya terlihat setua itu hingga kau memanggilku Pak? Oh baiklah. Saya tahu bakal seperti ini jadinya. Tunggu sebentar!" Revan berjalan meninggalkan Raga dan Putri menuju mobilnya.
"Put, dia siapa?" Raga menggenggam tangan Putri. Gadis itu terlihat terkejut dengan apa yang baru saja terjadi. Putri menatap tangannya yang digenggam oleh Raga, lantas beralih ke arah Raga dengan tatapan 'terimakasih'nya."Aku juga nggak tahu, Ga. Tapi, setidaknya aku bakal ngerti motifnya kenapa bisa tiba-tiba bisa kenal sama aku."
Raga mengeratkan genggaman tangannya. Seolah dia bisa kehilangan gadis berkerudung di hadapannya jika dia tak memegang dan menjaga gadis itu. "Kalau dia psikopat?" Putri memandang Raga dengan tatapan tak percaya. Bagaimana bisa Raga menuduh seperti itu?
"Raga, dari kapan kamu suka menuduh orang lain? Jangan su'udzon dulu. Walaupun aku juga sedikit takut, tapi setidaknya hapuskan pikiran-pikiran negatif yang belum tentu kebenarannya." Putri memberikan pengertian kepada Raga dengan sabar.
"Kalau kamu mau menuduh saya yang tidak-tidak, setidaknya jangan berbicara dihadapan orang yang kamu tuduh." Suara Revan menggema mengagetkan Raga dan Putri yang langsung memandang Revan seakan mereka baru saja melihat sosok makhluk astral dari dunia lain. "Dan sepertinya tidak sopan jika tanpa ikatan apapun, kalian berpegangan tangan seperti itu." Seketika itu, Putri segera menarik tangannya yang digenggam Raga. Merasa menyesal sudah mengizinkan Raga menggenggam tangannya.
Revan menyerahkan ponselnya kepada Putri. Putri menatap layar ponsel Revan yang memperlihatkan bahwa ponsel itu sedang melakukan sebuah panggilan. Tertera nama 'ayah' di sana. Putri memfokuskan matanya pada serangkaian nomor yang tertera dilayar.
Nomor Ayahnya!
Putri memandang Revan tak percaya. Bagaimana pria ini mengetahui nomor ayah? Kenapa juga dia memberi nama kontak itu dengan kata 'ayah'? Revan membalas tatapan Putri dengan anggukan dan mengarahkan dagunya yang bersih ke arah ponsel. Memberi perintah pada gadis berkerudung di depannya untuk segera meraih ponsel itu.