16. Merry Christmas, Adit!

316 25 4
                                    

Selamat datang, Desember! Bulan yang akan mengambil alih perhatian Aditya untuk sementara dariku. Karena ia pasti akan sangat sibuk sekali dengan persiapannya menyambut hari Natal. Aku bisa memakluminya. Bahkan, aku sempat menawarkan waktuku untuk menemani Aditya berburu pernak-pernik natal untuk ia pasang di rumahnya. Tapi, seperti yang kalian tahu, Aditya selalu saja berhasil mematahkan permintaanku. Ada saja alasan yang dapat membuatku mengiyakan penolakannya.

Awan hitam menggembung besar di atas atap rumahku. Titik-titik air terlihat mulai membasahi kaca jendelaku yang sengaja tak ku tutupi gorden. Aku pergi melihat bagaimana air hujan itu berjuta kali jatuh dan turun ke bumi. Awalnya ia menjadi uap dan terbang ke udara menjadi air, kemudian akhirnya jatuh kembali ke tanah. Menghujamkan dirinya berkali-kali.

"Kita sama. Sama-sama pernah terbang ke angkasa dan kembali jatuh ke bumi untuk mengulangi adegan yang sama." Aku hanya tersenyum dan masih terus menatap air yang mengalir di jendelaku.

"Sepertinya hujan ini aman." Aku bergegas keluar rumah dan menikmati setiap butir air hujan yang mengalir melintasi wajahku, membasahi setiap inci tubuhku.

Sejak kecil aku sangat menyukai hujan dan petrichor nya. Karena di dalam hujan, tidak akan ada yang melihat air mataku. Di dalam hujan, tidak akan ada yang melihat kesedihanku. Kurasa, hujan adalah aku. Hujan adalah bagian dari diriku. Aku menyukai air hujan, tapi aku membenci air laut. Itu karena dahulu aku pernah hampir tenggelam saat aku berlibur di pantai.

"Fira!" Seseorang berseru memanggil namaku. Bukan ibuku. Lalu siapa? Aku melihat ke sekeliling, ternyata suara itu berasal dari gerbang rumahku. Aku begitu senangnya hingga langsung berlari menghampiri laki-laki itu, dan membukakan gerbang agar ia masuk ke rumahku.

"Fir, kamu kenapa hujan-hujanan? Nanti kalo sakit gimana?"

"Enggak, Dit, nggak apa-apa kok. Kamu bisa lihat sendiri kan aku nggak sakit." Kataku masih penuh dengan perasaan ruang dan bahagia.

"Iya sekarang nggak sakit. Gimana kalo nanti sakitnya?" Wajahnya berubah sedikit kesal karena aku menentang ucapannya. Aku hanya tertunduk memandang kakiku—yang hanya dilindungi oleh sandal yang sudah tak berbentuk karena penuh oleh air kotor.

"Tuh, sandalnya aja sampai kotor kaya gitu. Udah yuk, masuk, Fir. Aku gak mau kamu sakit." Aku yang masih terdiam langsung ditarik paksa oleh Aditya agar mau masuk ke dalam rumah.

"Tapi, kamu 'kan jadi ikutan basah gara-gara aku, Dit." Aku merengek padanya.

Aditya hanya diam dan fokus merangkul tubuhku yang basah, melapisinya dengan jaket yang ia kenakan, dan menuntunku masuk ke dalam rumahku—seolah aku anak kecil yang tidak tahu dimana kamarku. Padahal di sini ia hanya menjadi tamu dan seharusnya aku yang mempersilakan ia masuk, membuatkan secangkir teh atau kopi hangat.

"Sana masuk kamar, cepetan ganti baju, dandan yang cantik ya."

"Kenapa harus dandan?"

"Cepetan, Fira. Keburu tambah basah itu jaketnya."

"Aku kira kamu perhatian sama aku, taunya cuma perhatian sama jaketnya sendiri."

"Hahaha udah cepetan ganti baju, nanti kamu sakit. Kamu itu kalau dibilangin nggak pernah nurut, ada aja alesan buat ngelak." Saking gemasnya ia mencubit kedua pipiku secara bersamaan hingga meninggalkan rona merah di sana. Belum puas, ia juga mencubit hidungku. Padahal aku 'kan sudah mancung dari lahir. Aku bergegas masuk kamarku diakhiri dengan senyum untuk Aditya.

"Eh, Nak Aditya. Ada apa kok hujan-hujan begini datang kemari?' Ibuku memulai pembicaraan dengan Aditya saat aku sedang sibuk berganti baju. Aku tetap mendengar percakapan mereka walaupun aku sedang berada di dalam kamar mandi kamarku.

SegitigaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang