Chapter 08

10.6K 739 8
                                    

Waktu menunjukkan pukul sembilan malam. Mereka sudah selesai makan malam tanpa Azzam dan Ayahnya. Pria paruh baya tersebut sedang pergi ke Bogor karena urusan kantor.

Radha yang hendak melangkah menaiki tangga langsung terhenti karena mendengar salam dari Azzam.

“Azzam come back,” sambung laki-laki itu. Radha urung menuju kamarnya. Dia malah berjalan mendekati Azzam yang masuk ke dapur.

Laki-laki itu membuka kulkas dan menuangkan air dari botol ke cangkir. Saat sedang minum dari belakang Radha memukul punggungnya. Air tersembur dari mulut pria 22 tahun tersebut.

“LO!” teriak Azzam sambil melotot ke arah Radha.

Radha memasang ekspresi sinis. “Mampus!” gumamnya pelan karena tiba-tiba Bundanya datang.

“Kenapa ini? Kok kamu teriak-teriak, Zam?” Bunda bertanya. Azzam terlihat kesal, dia meletakkan dengan kasar cangkir ke washtafel.

“Dia, Bun,” Azzam menunjuk Radha. “Azzam lagi minum, terus di pukul dari belakang,”

Radha melotot. “Gua cuma nepuk gak mukul ya! Fitnah aja lo!” Bunda langsung menyintil bibirnya.

“Masih aja gak sopan. Pakai gua-lo sama abang sendiri!” Radha menunduk. Matanya berkaca-kaca lagi. Ah, Radha memang cengeng.

“Iya tu, Bun. Mana pernah dia manggil Azzam pakai abang. Gak ada sopan-sopannya emang,” wajah Radha memerah. Dia menahan kesal setengah mati.

Bunda menatapnya. “Jangan biasin kayak gitu, Dha. Kalau sempat Ayah kamu yang dengar, habis kamu kena marah.” Kata Bundanya.

Radha menekuk bibirnya kesal. “Tapi dia bohongin Radha, Bun. Dia gak jemput Radha sekolah,” berlinang sudah air mata Radha. “Radha sampai bingung pulangnya kayak mana,” sambung gadis itu.

“Kan gua udah bilang, gua ada tugas kelompok,” Azzam membantah, tak terima.

“Ya harusnya lo nelpon dari jam 2!” Radha berteriak.

“Ya namanya juga lupa!” Azzam ikut berteriak. Ya, seperti itulah Azzam dan Radha sebagai adik kakak.

“Tu, Bun, dia ngeles!” Radha mengadu.

Bundanya menghela nafas, dilapnya air mata Radha. “Ya udah, jangan nangis lagi,”

“Dia yang selalu jahat sama Radha, Bun,” Radha terus mengadu, Azzam harus tahu kalau dia juga bisa mengadu.

Azzam mencibir. “Cengeng! Nikahin sekarang aja, Bun, biar gak berisik rumah.” Azzam berlalu menuju kamarnya.

“Liat, Bunda...” Radha menangis kencang, seperti anak kecil. Bundanya geleng-geleng kepala, menghapus lagi air mata putri bungsunya.

“Udah ah, udah besar juga nangis kayak begini. Malu di dengar tetangga, Dha.” Kata Bundanya. Radha menghapus air matanya dengan lengan hoodienya.

“Jadi tadi pulangnya gimana kamu?” Tanya Bunda.

Bibir gadis itu masih menekuk ke bawah. “Pesan ojol, pinjam hpnya Iqbal-Iqbal itu. Yang kemarin datang ke Masjid nyariin Bunda,”

Bunda terkejut. “Oh ya? Kok bisa ketemu?”

“Kebetulan aja. Untung ada dia, kalau gak Radha pasti belum sampai rumah,” jelas gadis itu.

Bunda membawanya duduk di sofa ruang tengah, ternyata ada Inah di sana sedang sibuk dengan laptopnya. “Kenapa, berantem lagi?” tanya Inah tanpa menoleh.

“Dia yang cari gara-gara,” jawab Radha. Inah tertawa. Azzam itu pantang kalah, ditambah Radha yang keras kepala.

“Udah bilang makasih belum sama dia?” Bunda bertanya lagi. Radha mengangguk, dia memeluk bantalan sofa sambil menatap aktivitas kakaknya.

“Kamu tau gak dia siapa?” Bunda membuka obrolan lagi.

“Anaknya ustadz Irman,” jawab Radha sekenanya.

“Kenapa, Bun? Anak ustadz Irman yang mau di jodohin sama Radha itukan?” Inah menyambar. Radha kaget, dia menatap Bundanya. Berharap itu tak benar.

“Iya,” Bunda menjawab sekenanya juga.

Muka Radha cemas. Fokusnya sekarang seratus persen pada Bundanya. “Serius yang Iqbal itu, Bun?”

“Iya,”

Radha menggeleng. “Gak mau sama dia, Bun,” Bunda dan Inah menatap aneh Radha.

“Terus lo mau sama siapa? Anaknya ustadz Irman yang cowok cuma dia doang,” kata Inah. Radha menggeleng kuat.

“Kenapa gak mau? Dia ustadz muda juga, umurnya sama kayak Azzam, udah lulus kuliah juga lagi,” tanya Bunda. Radha menggeleng, di peluknya bantalan sofa.

“Orangnya kayaknya galak, mana mau dia sama Radha. Apalagi Radha cengeng, terus di sekolah nakal,”

Inah menyentil telapak kaki adiknya itu. “Bagus kalau ngaku nakal. Berubah kalau udah tau calon suaminya sebagus Iqbal,” katanya.

“Sakit,” gumam Radha sambil mengusap telapak kakinya.

“Dia baik kok. Kamukan belum kenal dia, makanya ngomong begitu. Tujuan Ayahkan nikahin kamu biar kamu berubah, bisa lebih dewasa,” jelas Bundanya.

Diam-diam Radha mencibir. “Gak gitu juga kali buat gua berubah,” batinnya.

***

Selepas menyiapkan buku untuk sekolah besok, Radha merebahkan dirinya. Perempuan itu termagu menatap langit-langit kamar. Perkataan Bundanya tadi berhasil mengusik pikirannya.

“Pantes aja dia tau alamat rumah gua,” gumamnya.

Merasa bosan, Radha membuka ponselnya yang sudah terisi penuh. Membuka wifi dan memasukkan kata sandinya. Pokoknya besok dia akan minta ganti rugi sama Azzam dengan kuota internet.

Saat wifi itu tersambung, ratusan notifikasi masuk. Baik dari Line maupun WhatApp. Radha bingung, ada gerangan apa sampai notifikasinya jebol?

Dibacanya satu-persatu. Radha mendengus sinis, pantesan banyak teman-teman angkatannya yang menjapri dirinya. Sedangkan, teman-teman dekatnya hilang bagaikan ditelan bumi. Grup angkatan juga isinya membicarkan dirinya, sedangkan grup kelas sepi bagai kuburan.

Dilemparnya ponsel itu sembarangan. Memang seharusnya tak ada yang dia percayai, teman dekat sekali pun. Mereka tetaplah orang lain.

***

Mendadak Khitbah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang