Langit menghitam sejak waktu memasuki pukul enam. Bulan Mei hingga Juli memang dikenal sebagai 'tsuyu', atau periode hujan sebagai peralihan dari semi menuju musim panas.
Semua orang akan berlalu lalang bersama payung, atau jas hujan mereka. Banyak juga yang memilih berdiam di rumah, begulung dalam selimut. Sejujurnya, aku tak begitu suka hujan. Jatuhnya air dari langit penaka tangisan cakrawala yang merindu pada bentala. Tercipta ribuan kaki jarak, dan bila keduanya bertemu, jelas dunia akan kiamat. Sebuah ironi dari personifikasi cinta yang tak mungkin bisa bersatu.
"Naruto-kun!"
Lengkingan itu terdengar bersama decakan payung yang jatuh ke kubangan. Tergolek nyaris terbalik, memberi bercak cokelat pada parasut transparan bergagang lengkung.
Aku mengambil payung tersebut, kukibas sebentar sebelum kututup.
"Kau bisa sakit bila hujan-hujanan di malam hari, Hinata!" tukasku dengan mimik kubuat tegas.
Anehnya, gadis itu malah tertawa. "Hahah ... jadi kalau di siang hari tak membuatku sakit?" ia tampak menoleh ke depan, melebarkan langkah sembari tangannya mengepal lurus, berjalan laksana prajurit.
Gadis yang kusukai itu memang keras kepala. Dia selalu punya kata-kata yang bisa membuatku seketika membungkam suara.
"Apa?" tanyaku melihatnya berhenti. Dia menautkan tangan, lalu menoleh menatapku.
"Dingin," ujarnya mendekap bahu.
"Lalu?"
"Kau tak ada niat memegang tanganku apa?!"
Aku tak bisa menahan senyum kala melihat pipi gembil itu menggembung cemberut.
Dasar
Sedari awal aku memang tak ada niat memegang tangannya, tapi ....
"Na-Naruto-kun,"
Kelopak mata gadisku mengerjap. Sepuh merah jambu menghiasi pipinya yang pasi oleh udara dingin.
"Daripada hanya memegang tangan, lebih baik aku memelukmu seperti ini kan?"
Aku menarik bahunya yang mungil untuk bersembunyi di balik jas hujan yang akhirnya kami pakai bersama.
Begini, lebih mesra.
.
.
PETRICHOR
Naruto adalah manga yang dibuat dan diilustrasikan oleh Masashi Kishimoto, serta dianimasikan oleh Studio Pierrot
.
.
"Apa kubilang, badanmu demam sekarang."
Hinata menggeliat di balik selimut. Memeluk pinggangku erat seolah tak mau lepas, padahal aku ada jadwal berjaga pagi ini.
"Jangan pergi," gumamnya manja sembari merebahkan kepalanya di pangkuanku.
Arloji sudah menunjuk pukul dua pagi. Sejam lagi keretaku berangkat, dan bukannya semakin kendur, pelukan Hinata kurasa kian menguat.
"Lagian di luar sana masih hujan."
Gemericik air dari dalam sini memang terdengar jelas. Netraku juga melihat bagaimana jendela apartemen yang mengembun. Namun, bukan berarti aku tak bisa pulang kan? Aku bisa memesan taksi untuk mengantar ke stasiun.