27. Solidarity Forever

244 24 26
                                    

[]





































***

Kalian percaya sehabis gelap terbitlah terang.

Ya, kali ini mungkin gue percaya.

Sehabis kita berjuang ngumpulin solidaritas, ngumpulin pandangan masing-masing, memperbaiki diri, dan sadar posisi masing-masing. Akhirnya, kita bisa bersatu. Bukan bersatu kayak awal dimana kita masih nggak saling kenal. Tapi bersatu yang di akhir. Yang kita tahu masing masing personal.

Bazar kali ini kita ambil untuk menjual jajanan basah pasar. Dengan tukang masaknya, Mamanya Yasmien, Ibunya Okta, dan Emaknya Mak Jeje. Kita mah cuma tinggal ngasih modal dan tinggal jual nanti. Kita bisa berdagang berkat ilmunya pak Gunanto nih.

Terus nanti, para penjualnya ini harus pakek kebaya dong. Cara belinya juga nggak pakek uang. Tapi pakek sampah plastik botol yang terlalu berlebihan disekolahan. Nanti di stan kita juga dibuatin spot foto. Karena balik lagi ke anak jaman sekarang yang suka sosial media. Jadi daya tarik kita tentu spot foto tersebut.

Karena emang untuk modal stan diatas itu mahal. Bahkan uang kas kita aja kurang, maka dari itu mulai hari ini kita wajib bayar seribu seribu ke Risma.

Baru kali ini, gue nemu ide yang sepemikiran sama otak gue. Biasanya menyimpang, dan nggak terlalu sesuai vibe gue.

"Al, kenapa gitu ya? Aku suka kelas ini yang versi sekarang."

Gue mengangguk menyetujui pernyataan tersebut. Ya walau akhirnya tetep aja ada yang sakit bekas luka lama dulu. Tapi, semuanya gue rasa terbayar tuntas dengan solidaritas ini.

Hari ini lagi kosong. Sama temen-temen dibuat untuk merencanakan Spot foto yang bakalan dibuat. Yang rencanain Farah, Gue, dan Okta. Yang buat nanti setengahnya Budi, seperempatnya Haris, seperempatnya Agus. Soalnya tangan Agus sama si Haris ini agak bebel. Bukannya jadi spot foto, malah hancur nanti.

"Jadi ini enaknya gimana?" Farah membuka pembicaraan.

"Kita buat tema sejarah, ada juga yang semacam frame frame media sosial itu loh rah. Jangan lupa, kita mengangkat budaya juga loh." Gue usul. Si Okta manggut-manggut.

"Iya juga, gue setuju. Tergantung Budinya bisa apa nggak?" Okta noleh ke Budi. Sebelum akhirnya Pak Ketua Kelas itu mengangguk.

"Bisa lah. Nanti juga pasti gue usahain. Ya nggak Alta?"

Gue yang ditanya cuma cengar-cengir gak jelas. Sambil ngangguk.

"Eh, yang masalah soal bayarnya pakek sampah itu beneran? Menurut gue bermanfaat juga sih. Tapi apa nggak rugi?" Budi merapat diantara gue dan Okta. Lama-lama nih anak suka dusel ya.

"Ye beneran. Emang bohongan? Kalo rugi ya jelas sih. Harga sekilo sampah nggak seberapa sama harga jajanan basah kita. Tapi, ini kenang kenangan terakhir kita sebelum kelas dua belas nanti." Okta ngejelasin. Gue sih manggut-manggut aja. Soalnya penjelasan nih anak akurat dan sesuai konteks aja.

"Masalahnya ini cuma satu, kayaknya kita nggak punya cukup waktu buat ngumpulin uang supaya cukup. Sponsor bapaknya Rianti kurang besar dananya. Kita cuma dikasih satu juta aja. Gue masih nyari alternatif nih?" Kening Farah berkerut. Tanda kalo dia mikir keras. Gue juga gitu. Masalah uang nih emang susah.

"Kita suruh aja temen-temen urunan lebih banyak," cetus Budi.

"Nggak bisa gitu. Iya, mereka yang menengah ke atas mau. Tapi yang menengah ke bawah belum tentu. Toh, kadang uang mereka juga buat beli bensin. Nggak bisa kita tekan mereka lebih banyak lagi." Gue protes, secara gue juga punya kebutuhan. Uang saku gue juga nggak terlalu besar.

"Iya juga ya Ta." Budi nyengir kuda.

"Ini nih masalahnya. Gimana ya jalan keluarnya?"

"Apa iya kita minta sumbangan aja?"

"Ngawur aja."

"Kita ngamen aja yuk."

"Gila."

"Kita adain Dance repbulic aja."

"Sekelas nggak bisa nge- dance udah."

"Emmm..."

Awalnya gue kira kita harus batalin untuk buat spot foto yang biaya bahanya mahal.

Tapi karena gue selalu percaya, bahwa sehabis gelap terbitlah terang.

Maka dari itu ada sebuah keajaiban.

"Ini kelas MIPA 2 kosong?" Suara Pak Bams membuat kita berempat yang lagi berdiskusi di belakang terjengkit.

"Saya mau melihat sudah sampai mana untuk bazar. Dan kalo kalian butuh bantuan, saya siap membantu."

Awalnya ya cuma basa basi aja.

Sampai akhirnya...

"Ini saya punya bantuan finansial sebesar 1juta. Karena saya dengar, kalian mengeluarkan sesuatu yang spektakuler."

Rasanya tuh...

Pengen sujud syukur.

Cium tanah.

Cium kakinya Pak Bams.

Cium tembok.

Cium lukisan

Cium fotonya Bias.

Asal, nggak cium adit aja.

Sampe akhirnya beliau ikut ngerencanain bareng kita. Ikut bantuin kita. So finally, gue rasa salah nyebut kelas ini bangsat dulu.

Well, habis gelap terbitlah terang

Kelas 11 MIPA 2.

We ready to Bazar!!






Tapi kita lupa....











Kalo habis terang terbit gelap lagi.

***



[Dikit ya? Maap, hehe. Btw, met lebaran ya. Maafin aku yang salah banyak. Buanyaak banget. Maafin tulisan aku yang selalu banyak kata kasarnya.

Aku sempet tertampar gitu sama omongannya seseorang yang bilang, "Kualitas seseorang itu dilihat dari cara nulisnya."

Sedangkan di cerita ini tuh aku kasar banget. Jahat, dan nggak tahu aturan.

Setelah aku cek web, dan aku buka map sama statistika. Yang baca cerita aku tuh sekitaran anak remaja yang baru gede. Yang lagi sibuk sibuknya nyari jati diri. Dan aku malah rusak kalian sama cerita aku yang begajulan ini.

Sempet mau ke unpub.

Tapi, nanti kalo udah end baru aku revisi. Biar sopan dikit ya.

Hehe, maapin aku ya.

Jangan lupa tersenyum dan bahagia.

Regards,
Isnah]

Kelas ArchimedesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang