[holaaaa!!
Lama yaa aku nggak apdet. Btw, aku kangen haris sama suga. Hehw, kangen kelas archi😂🤣. Happy reading buat part ini.]***
Ketika ditanya seberapa bangsat-nya sih kelas ini.
Gue akan berteriak lantang di garda paling depan, lalu menyatakan bahwa kelas ini emang bangsat.
Bangsat sekali.
Tapi sebangsat-bangsatnya kelas ini. Gue nggak pernah punya kepikiran supaya salah satu atau dua temen sekelas gue punya musibah. Gue nggak pernah ngedo'ain mereka untuk kena masalah yang berbelit-belit.
Karena walaupun mereka bangsat, masih ada jiwa terbiasa untuk berteman. Masih ada jiwa solidaritas tinggi, sekalipun pernah dikoyak beberapa kali. Gue masih punya rasa kasihan dan sakit hati serta belangsungkawa saat salah temen kita pernah kecelakaan dulu. Gue masih punya jiwa peduli saat salah satu dari mereka sakit.
Gue masih punya hati untuk berharap mereka akan selalu baik-baik saja. Sekalipun mereka bangsatnya bukan main.
Hari ini, hari sabtu seperti biasanya. Matahari tetap terbit dari timur. Semua orang ada yang bergegas ke kantor kalau lembur. Ada yang pulang dari kantor dengan keadaan capek. Jalanan lumayan lenggang karena weekend.
Hari ini biasa, yang tidak biasa hanyalah hati gue yang berdegup kencang bukan main. Tidak sabar dengan pameran jajanan yang akan kelas gue persembahkan.
Hari ini biasa, ada banyak siswa yang ijin tidak masuk karena malas disuruh menjaga jajanan, lalu berteriak menjajakan.
Hari ini biasa, seperti biasanya Haris dan Farah akan beradu argumen. Sepertu biasanya gue, Haris, dan Budi akan berkumpul jadi satu.
Hari ini biasa, seperti sabtu akhir pekan lainnya.
Karena memang itu, seharusnya hari ini biasa. Seharusnya pameran jajanan ini berakhir seperti layaknya. Seharusnya flash mob yang dilaksanakan kelas Archi tadi pun berjalan seperti yang telah direncanakan, tanpa harus mengubah tata letak karena salah satu anggota kelas nggak masuk.
Seharusnya...
Seharusnya...
Seharusnya...
Sesederhana kata seharusnya, yang membuat gue dengan mata nyalang menatap dia yang kini menunduk malu di depan Bapak Kepala sekolah. Yang membuat gue untuk pertama kalinya membenci dia yang biasanya tersenyum hangat. Yang membuat gue meremat tangan, antara marah, diam, dan menyalahkan diri sendiri.
"Diduga polisi transaksi ini telah direncanakan sejak dua-tiga minggu lalu. Ini dibuktikan dengan pesan-pesan yang ada di handphonenya. Pihak polisi sedang menyelidiki darimana tersangka mendapatkan sabu seberat 0,5 gram yang dibungkus rapi di dalam botol minuman bersoda."
Pak Kepala sekolah menjelaskan. Kecewa tak terelakan dari sudut matanya yang beberapa jam lalu masih bersuka cita. Pak Bambang jauh dibelakang, bahunya terkulai lemas. Dia lebih banyak diam. Sedangkan kami, hanya bisa diam menatap dia yang kini menunduk dalam-dalam.
Gue meremat kembali ujung kebayak salem. Mata gue udah berkaca-kaca. Semua omongan Bapak Kepala Sekolah lewat begitu saja. Yang gue ingat hanyalah sosok yang paling gue kenal sedang berdiri di depan sana dan dia dituduh sebagai sindikat pengedar narkoba.
"Masak si Firman."
"Perasaan dia nggak ada frustasi deh."
"Padahal dia pinter loh. Kenapa harus jadi bandar narkoba coba?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Kelas Archimedes
Teen Fiction11 MIPA 2. Kelas ter-bangsat yang pernah gue kenal. Kenapa gua nyebutnya Archimedes? Karena kelas ini tuh gak jelas. Kalian tahu kan 3 posisi benda dalam air yang dikemukakan Archimedes. Benda terapung, melayang, dan tenggelam. Kelas gue itu kayak b...