Malam semakin dalam mencengkramkan kuku-kukunya yang beku ke tulang belulang orang-orang yang kalah. Membuatnya meringkuk nyaman di bawah kehangatan selimut tebal. Melenakannya dengan sejuta mimpi esok hari. Tapi tidak bagi kami. Nafas kami saling beradu, jantung kami saling berpacu. Keringat bercucuran membahasahi tubuh kami yang membara. Tanda bahwa metabolism tubuh kami sedang meningkat. Dia tersenyum dengan matanya yang memendar jenaka. Aku membalasnya. Dan dia semakin menenggelamkan tubuhku dalam rangkulannya. Dan aku semakin terbius oleh aroma kejantanannya.
Namanya Rengga Pabrev Kamardikan. Kami bertemu bulan Mei tahun lalu. Saat itu aku sedang bingung sekaligus marah. Kawan-kawan yang mengajakku telah meninggalkanku sendirian di tengah keramaian festival Malang Tempo Doeloe.
"Jiiyan..."umpatku dalam hati, tapi tak kuteruskan. Aku tak terbiasa dengan kata J, meskipun di Surabaya itu sudah menjadi sapaan sehari-hari. Apa yang bisa kuperbuat selain terus menunggu mereka di depan Gereja, seperti kesepakatan sebelumnya.
Malam semakin larut, dinginnya udara malam kota Malang semakin menusuk, dan kawan-kawanku masih tak tentu di mana rimbanya, sementara beberapa stand sudah mulai tutup. Muda-mudi di sekitarku pun mulai menghilang satu satu, entah mereka pulang, entah pindah ke tempat yang lebih 'memungkinkan'. Dan aku masih mematung di depan gereja sendirian.
"Mau?" Tawarnya saat itu sambil menyodorkan gulali merah bertabur wijen. Sempat curiga sih, di jaman sekarang yang serba duit dan penuh dengan kriminalitas, mana ada orang menawarkan sesuatu tanpa hidden agenda di baliknya.
"No such things as free lunch, begitu kira-kira kata orang Amerika. Nggak ada makan siang gratis." Sambungnya seperti bisa membaca pikiranku. "Tapi tenang, gua bukan orang Amerika koq Bro. Gua asli Bandung." Matanya ramah, ada pendar ketulusan di dalamnya. Dan itulah yang kubutuhkan saat ini, saat kawan-kawanku hilang entah ke mana. Aku mengambil lolly pop tradisional itu. Masih ada ragu saat aku mulai mengulumnya, jangan-jangan ada mantra gendamnya. Ah tapi peduli amat, toh aku tidak membawa barang berharga selain hape bundas. Tapi gimana kalo ternyata dia menginginkan tubuhku? Jangan-jangan dia akan memotong-motongnya dan menjual bagian per bagian?
"Tenang, gua juga bukan pemburu dan penjual organ manusia." Ups... koq dia bisa tahu yang ada di dalam pikiranku? "Hahah... Cuma menebak aja, kau terlalu mudah ditebak dari raut wajahmu."
" Mmm..." Aku hanya bergumam, mencoba menikmati gulali merah yang mulai lumer di mulutku.
"Nikmatilah Loly pop dengan sepenuh hatimu, karena kamu akan merasakan sensasi yang sangat sensual saat bibirmu mulai menyentuhnya untuk pertama kali, dan ketika lidahmu bermain di setiap bagian itu akan terasa asam dan manis, tekstur warnanya membuat kamu akan semakin bergairah untuk segera melumat dan mengahabiskannya hingga jilatan terakhir[i]"
"Ini kan gulali"protesku datar.
"Hehehe...lu punya selera humor juga."balasnya.
"Rengga..." sambungnya sambil mengulurkan tangan kanannya.
"Rengga Pabrev Kamardikan..."lanjutnya saat aku menyambut tangan kanannya. "elu?"
"Panggil saja saya Angga" jawabku.
"hmm... Angga. Nama kita mirip, mungkin kita jodoh." Katanya asal. Aku hanya membalasnya dengan senyuman cegek.
"Sekaranga apa rencanamu? Masih menunggu teman-temanmu?" bagaimana dia bisa tahu bahwa aku sedang menunggu teman-temanku? Jangan-jangan dia beneran bisa baca pikiranku.
"Cuma nebak aja! Lu benar-benar orang yang polos dan mudah ditebak." Benarkah aku semudah itu ditebak?
"Yup... lu memang orang yang mudah ditebak hahaha... pasti lu bertanya benarkah aku mudah ditebak? Ya kan?"dia menatapku tajam. Matanya yang tadi berpendar ramah sekarang berubah menjerat dan mengexplorasi.
KAMU SEDANG MEMBACA
BAHASA TANPA KATA
RomanceYa, terkadang rasa itu lebih indah tatkala, bukan terucap bahasa. Saat bahasa mewujudkan rasa dalam kata, sebagian makna akan menguap lenyap. Seperti misteri yang telah terpecahkan. Kamu tahu, aku tahu, maka cukup waktu saja yang bicara dalam bahasa...