Satu Cermin Dua Bayangan

20 5 0
                                    


Ruangan ini masih tetap sama seperti sebelumnya. Tidak ada yang berubah didalamnya. Aku masih mengenakan baju setelan hitam masuk dengan mata sayu. Menatap setiap sudut ruangan tanpa ekspresi. Sebuah buku harian berwarna cokelat yang berada di meja belajar menjadi pusat perhatianku. Perlahan aku mulai mendekat kemudian membuka halaman pertama.

~Satu Cermin Dua Bayangan~

***

"Ceklek" Aku membuka pintu rumah dengan malas. Pandanganku mengarah kedepan. Itu lagi, itu lagi. Ibuku mengundang teman-temannya kerumah. Untuk apalagi ? tentu saja untuk memamerkan anak emasnya dan memarahiku lagi. Sudut mataku mengarah kepada adikku, Raina yang baru saja pulang dari tempat lesnya. Matanya sayu seolah-olah tidak ada kebahagiaan dihatinya. Walaupun begitu adikkulah anak emas keluarga. Berbeda denganku yang suka bermain dan menghabiskan waktu dijalanan.

"Lihat ! anak laki-lakinya berandalan" Kudengar lirih suara teman-teman ibuku. Dengan malas aku melempar sepatuku seenaknya dan segera beranjak ke kamar.

"Raihan !" Kudengar suara setengah teriakan ibu. "Sampai kapan kau sadar ? berhentilah bersenang-senang. Contohlah adikmu yang selalu berprestasi ini. Hidup tidak hanya untuk bermain-main. Hidup lebih serius dari itu"

"Hidup lebih asik dari itu bu" Ucapku sebelum menutup pintu kamar dengan keras. Aku masih bersandar dibalik pintu mendengarkan celotehan tak berguna itu.

"Katanya kembar bu ? tapi kenapa kakak laki-laki Raina seperti itu ?"

"Kalau aku jadi ibu pasti bangga memiliki anak seperti Raina yang cerdas dan selalu berprestasi sekaligus menyesal memiliki anak seperti Raihan yang ........"

Tanpa mendengarkan pembicaraan berikutnya, aku langsung menghantam pintu dengan tangan sekeras-kerasnya. Meluapkan kemarahanku yang sedikit tertahan. Aku merebahkan tubuhku ke kasur. Masih dengan seragam sekolah lengkap. Aku benci, sangat benci. Aku membenci keadaan dan kehidupanku yang tak adil. Aku merasa dikekang dan dipaksa untuk menjadi seseorang yang bukan jadi diriku sendiri.

"Tok tok tok" Kudengar suara ketukan pintu kamarku. Kemudian seorang perempuan tanpa ekspresi masuk kedalam kamarku sembari membawa sepiring makanan. Adikku, Saudara kembarku Raina yang sangat berharga untukku. Matanya selalu sayu dan perilakunya yang manis membuatku iri. Betapa sempurnanya adikku ini. Tanpa sepatah kata yang keluar dari mulutnya, ia menaruh sepiring nasi goreng telur dadar disampingku. Kemudian ia beranjak keluar dari kamarku. Selalu seperti itu. Adikku tau betul penenang hati saat aku kesal adalah makanan kesukaanku. Aku tersenyum melihatnya yang perlahan berlalu dari pandanganku.

***

"Pulang malam lagi ?" Terdengar suara ketika aku membuka pintu rumah. Aku membenci pemandangan ini lagi. Mata adikku tetap sayu melihat sesuatu dibawah. Piala kejuaraan lomba mading 3D tergeletak patah di lantai. Napasku menggebu ingin mengeluarkan semua kemarahanku yang tak tertahan.

"Wajahmu kenapa ? pasti bertengkar hal yang tidak berguna" ingin rasanya aku memecahkan barang-barang yang ada ketika mendengarnya.

"Berhentilah membuat gaduh" Ibu menahan lenganku ketika aku beranjak pergi menghiraukan ucapannya.

"Jadilah anak yang baik. Ibu malu memiliki anak sepertimu yang berandal. Kelakuanmu bukan yang ibu mau. Apa kata teman-teman ibu jika perilakumu saja tidak pantas disebut sebagai pelajar. Sepertilah adikmu Raina. Dia selalu menurut apa kata ibu. Dia selalu mau menjadi seseorang yang ibu inginkan" Aku muak mendengarnya. Kesabaranku habis dan inilah saatnya aku buka bicara.

"Ibu bangga telah merubah Raina menjadi seseorang yang bukan jadi dirinya sendiri ? perlu ibu ketahui bahwa Raina selama ini terlalu bersabar untuk menerima tekanan yang ibu beri" Aku langsung beranjak menuju kamar sembari memegang pipiku yang lebam membiru. Aku memang bertengkar sore ini tadi. Tetapi bukan untuk hal yang tidak berguna. Melainkan untuk membungkam mulut orang yang telah menghina adikku. Katanya Raina itu pintar tapi bisu. Kepintarannya menutupi kecacatannya. Ingin sekali kujahit mulutnya itu. Adikku tidak bisu. Hanya saja ia tidak bisa mengungkapkan rasa dihatinya lewat bicara. Ia hanya bisa mengungkapkan lewat sorot matanya dan aku sudah bisa memaknai itu.

Satu Cermin Dua Bayangan ✔Where stories live. Discover now