Upaya Menghapus Kenangan

413 9 0
                                    


"Aku jadi lilin buatmu boleh, Mas?" kata Warda di suatu malam ba'da Isya lewat telepon.

"Tolong jangan bilang begitu, Dik. Lupakan lilin." Kubilang.

"Kan lilin sangat mulia, Mas."

"Aku bilang sudah ya sudah..."

"Kok gitu?" nada suara terakhir melukiskan sedih di wajah Warda. Aku menerka saja.

"Maaf ya, Dik."

"Buat apa?"

"Nggak tahu,"

"Mas... Mas..."

"Dik.. Dik..."

Aku teringat dulu seorang wanita mengatakan itu padaku. Kini masih teringat itu kembali, dia seolah hadir saat calon istriku mengatakan itu.

"Tapi aku puas, mas. Aku bangga bila bermanfaat," katanya.

"Tidak bagiku, cari kemanfaatan yang lain." aku sedikit berontak. Lalu dia mengondisikan lengannya untuk dijadikan bantal di kamarnya.

"Lilin itu mulia. Melawan gelap menabur cahaya," katanya sambil mendangakkan wajahnya ke langit-langit kamarnya. Tangan kirinya jadi bantal kepalanya dan tangan kananya memegang HP yang ditempelkan di telinga kanannya.

Kami seolah bersebelahan kepala. Di satu ranjang.

"Tapi kamu lenyap setelah itu, Dik Warda. Apa kamu rela aku merana setelah itu?" Aku merengek.

"Tiada yang abadi, Mas." ucapnya mantap. "Sekali berarti selanjutnya mati. Daripada sia-sia lalu mati. Hehe," dia mengkekeh.

"Jadilah istriku saja ya," tawarku.

"Kan sudah dekat, Mas." Jawabnya.

"Kalau kita sudah nikah, tolong jangan sakiti aku ya, Dik. Dan aku janji, tidak akan melukai hatimu sedikitpun. Tagihlah kalau aku lupa. O iya, Dik. Aku mau pulang kampung pada hari Kamis. Aku berangkat pagi."

"Tanggal merah ya itu, Mas?"

"Iya, makanya aku mau pulang."

"Pigin ikut. Aku ikut Mas ke kampung boleh, Mas? Pingin ketemu Emma' sama Eppak' aku. Boleh ya aku ikut ya... ya...."

"Izin Bapak Ibu dulu, Dik."

"Pasti diizinkan. Kalau nggak boleh, Mas aja yang nginap di Gresik."

"Nanti saja kalau sudah halal. He he he. Lagian, sungkan sama Bapak Ibu, Dik."

"Kenapa? Mereka loh belakangan ngomongin Mas terus. Dikit-dikit, Mas. Lihat ini Mas lihat itu Mas. Sampean famous di sini, Mas. Maklum mereka kan nggak punya anak laki-laki."

"Apalagi begitu, Dik. Aku makin tak nyaman pada mereka. Aku loh jauh dari baik. Aku loh jahat. Aku penjahat, pencuri loh ya. Hehe"

"Iya sampean telah mencuri aku."

Kami mengkekeh satu sama lain. Di sini aku mirirng kanan miring kiri meladeni telepon Dik Warda. Di sana Dik Warda juga guling-guling di springbed mahalnya. Kamar yang pernah aku tiduri. Kamar wangi bagai taman surga. Wangi kebahagiaan. Aku selalu suka melihatnya tersenyum, caranya berbicara, manjanya, santunya, dan semuanya.

"Boleh aku mencubit pipimu, Mas?"

"Silahkan..."

"Sudah,"

"Mana belum."

"Sudah barusan, Mas."

"O...o... Auuuuuh, pelan-pena dong, Dik. Sakit."

Hehe hehe hehe...

Kami mengkekeh dalam khayal cinta yang indah. Kami berniat baik pokoknya, insyaAllah akan saling memperlakukan dengan indah satu-sama lain.

-00-

Bismillah NikahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang