1. Surat Untuk Mas Herdi

6 1 0
                                    

Ditulis tanggal 29 Januari 2017...






Aku memandangimu yang sedang fokus mengerjakan tugas kuliahku. Bolamatamu membesar. Cahaya laptop memantul kesana. Kulihat bibirmu menganga, bersamaan dengan ekspresi serius dan fokus yang terpajang di wajahmu kini.

Aku hendak tertawa. Namun berhasil kutahan. Dibantu telapak tanganku yang refleks menyentuh bibir. Kemudian aku menarik nafas. Membenarkan letak duduk, dan berdeham.

Kau mendongak. Melihatku. Masih dengan wajah polos nan serius itu. Namun hanya sebentar. Tak sampai dua detik, kau kembali menatap layar.

"Kamu nggak capek, Mas?" Kini aku membuka suara. Setelah hampir setengah jam, sibuk dengan urusan masing-masing. Dan Mbak Gia, baru saja permisi ke toilet.

"Enggak," jawabmu sekenanya.

"Serius?"

"Iya, enggak." Sama sekali tidak melihatku.

"Gimana, sih? Iya, apa enggak, nih?" Aku mencoba untuk menggoda. Namun, kamu hanya diam. Hanya tanganmu yang bergerak semangat. Terlalu semangat malah. Membuatku tiba-tiba curiga.

Sebenarnya, apa yang kamu lakukan pada tugasku?

Penasaran, tanganku meraih laptop yang sedang kamu pakai itu. Dan membalikkannya ke arahku.

"HA??"

Asdfghjkl!!!

"Apa-apaan nih! Mas Herdiiiiii...!" Aku mengomel sambil merengek-rengek kesal. Kakiku menghentak-hentak lantai yang ada di bawah meja. Rasanya aku ingin menewaskan kamu saat ini juga.

Ya, bagaimana tidak? Sejak tadi, aku mengira kalau kamu sedang membuatkan tugasku. Seperti yang sudah aku minta. Malah aku sudah merasa percaya diri di depan Mbak Gia. Tapi, alangkah terlukanya diriku saat kulihat kamu malah sedang bermain game di laptopku.

"Eh, eh! Jangan teriak, Ta. Malu," katamu berusaha menahanku. Membujukku agar stabil kembali. Aku menurut. Benar juga. Jika aku melanjutkan acara pelampiasanku, semua orang yang ada di kafe ini akan merasa risih. Dan ujung-ujungnya aku mendapat tindakan tidak menyenangkan.

Pundakku merongsot turun. Sambil menyandarkannya ke sandaran kursi. Kamu menatapku. Aku menatapmu. Kita saling bertatapan dengan cara yang berbeda. Kamu dengan ekspresi yang... ah! Aku tidak tahu! Kamu menunjukkan senyum memuakkan itu lagi. Dan aku, tentu saja dengan tatapan murka, kesal.

"Kamu tadi bilangnya iya!" kataku beremosi.

"Kapan?" tanyamu santai.

"Tadiiiiii," balasku dengan penekanan. Jemari tanganku mengeriting. Membentuk seperti hendak mencekikmu. Lalu menurunkannya lagi di atas meja. Dengan hentakan kesal.

"Iya, yang pas kapan? Yang mana?" Detik itu juga. Kamu berhasil membuatku naik darah.

Aku mendengus kesal. Tanganku merangkak ke belakang punggung. Meraih sling bag yang kugantung di sandaran kursi. Sambil menatapmu, aku hendak menutup laptopku. Namun, dengan cepat kamu menahannya.

"Jangan main ngambek gitu aja dong. Coba periksa dulu!"

Lagi-lagi, aku membenarkan perkataanmu. Mengapa aku tidak memeriksanya terlebih dahulu? Jika sudah begitu, alasanku merajuk padamu-masuk akal dengan apa yang sudah aku lihat.

Namun, saat aku memeriksa file tugasku, aku salah lagi. Hatiku mencelos begitu saja, saat kulihat tugasku sudah selesai, dan,

"M-mas, i-ini serius?" Aku masih tidak menyangka dengan empat kata yang tertulis menjadi satu kalimat itu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 15, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

KumCerPenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang