Ken Arok dan Nabi Nuh

115 3 0
                                    

DI KALANGAN tertentu di Yogya, kini sedang berkembang iklim perbincangan, yang kalau tiba ke skala peradaban, mereka pakai idiom dan referensi sejarah Nabi Nuh; sedangkan kalau tiba pada masalah suksesi politik, mereka pakai bahasa Ken Arok. Ini sama sekali tidak politis, melainkan pergulatan ilmiah belaka. Politik bisa mati setiap saat, sedangkan ilmu bisa lahir setiap saat. Politik itu sempit dan suka menjebak diri menjadi hina, sedangkan ilmu itu luas dan jauhnya tak terhingga serta senantiasa bertahan untuk mencari yang paling mulia.

Perbincangan itu, sudah barang tentu, tiba pada berbagai terminal: letusan Kelud, gerhana matahari, buah simalakama para diktator, kearifan Airlangga untuk tahu kapan mendito, Joko Timur alias Joko Pingit, stagnasi ilmu-ilmu sosial, ideologi dan kemunafikan kantor-kantor berita internasional, mainan hulahop, Buto Cakil, berhaji 40 kali dan fitness centre, kaum lelaki di negeri Pharao yang dikebiri kejantanannya, dan beratus terminal lagi, dari yang paling akademis hingga paling takhayul. Tulisan ini membawa kepada Anda satu dua jumput belaka, sekadar untuk incip-incip alias ampet-ampet, sebab tema-tema semacam ini tidak dapat didaftarkan di persekolahan ilmu resmi maupun di etalase pasar berita media massa mana pun. Saya belum memiliki keperkasaan seperti Nabi Nuh untuk ditertawakan orang tatkala sibuk menggergaji kayu membikin perahu di tengah padang pasir.

Sebagian dari kalangan di Yogya itu bersikeras bahwa kisah Nabi Nuh dan kaumnya tidak harus dimaknakan secara harafiah. Apa yang dimaksudkan dengan banjir, air bah, gunung tinggi, perahu, tidaklah pasti berarti verbal. Bisa saja itu metafor. Kiasan.

Berita-berita sejarah, juga kisah dalam Alquran, sering berupa simbol-simbol. Memang, kalau mau mengawetkan sesuatu simpanlah dalam simbol. Itulah sebabnya karya seni lebih "abadi" dibanding dengan karya ilmu atau hasil budaya manusia lainnya. Kalau hendak menyimpan informasi, taruhlah di kuburan atau di masjid.

Kalau kisah Nuh tidak simbolik, ia bisa "membusuk" dalam konteks bahasa dan komunikasi. Karena ia simbolik, selalu ia bisa direaktualisasikan.

So, banjir bandang yang menimpa umat Nuh adalah ketidakmampuan sistemik masyarakat di zaman itu untuk mengatasi atau menyembuhkan penyakit-penyakit peradaban yang mereka ciptakan sendiri. Meskipun segala sesuatunya mungkin masih jauh lebih sederhana dibanding dengan zaman kontemporer sekarang, banjir itu berkonteks poleksosbud. Gunung tinggi itu pencapaian pembangunan yang akhirnya tergusur oleh efek-efek pembangunan itu sendiri. Dan apa yang yang sejak semula secara tekun dan tabah diselenggarakan Nuh adalah counter cultur, perlawanan budaya, antitesis terhadap kemampuan tesis, oposisi, pembangunan alternatif, dan seterusnya. Nukleus gerakan Nuh tetap tauhid, karena dari akidah tetap kapan saja bisa diproyeksikan kembali ke bidang-bidang kenegaraan dan kemasyarakatan. Mungkin pada zaman Nuh belum ada fenomena nation state, tapi itu tak berarti tak ada komplikasi masalah-masalah pembangunan yang segi-seginya sama ragam dan ruwetnya dengan pengalaman kita sekarang.

Tataplah, umpamanya, Arab Saudi yang absurd itu: kini mereka ditimpa air bah yang tumpah dari mulut nafsu dan konformisme mereka sendiri. Pandanglah keseluruhan negeri-negeri Arab yang entah memerlukan beberapa abad dan darah lagi untuk percaya pada esensialitas dan universalitas Islam, serta jangan bermimpi memperoleh "sorga" hanya dengan reprimordialisme egoisme suku-suku, apalagi primordialitas minyak dan kelas sosial.

Pandanglah juga keseluruhan peradaban abad ke-20 di muka bumi ini: belum tumpah banjir bandang, tapi dam-dam telah jebol satu per satu. Dari AIDS sampai ketertipuan filsafat hidup, dari seks mania global hingga kekhilafan teologis, dari berlubang-lubangnya ozon hingga eksistensialisme yang berakhir sakit gila, dari piramida penindasan hingga kebahagiaan massal, dari kerusakan ekosistem hingga ketololan konsepsi pembangunan yang diterus-teruskan dan ditutup-tutupi kanker dan tumornya. Alternatif "Nabi Nuh" ditertawakan, bahkan diwaskati dan dinusakambangankan oleh muatan jahl dalam the so called pembangunan, era dan era, profesionalisme, efisiensi dan efektivitas, karier dan digitalisasi manusia - atau segala macam omong kosong takhayul dari suatu sejarah yang perlahan-lahan membunuh dirinya sendiri.

Dan Nuh adalah kelompok marginal. Nuh tetap membuat perahu, setidak-tidaknya rakit kecil . . . karena tidak semua "binatang" akan naik rakit itu.

Dan, Ken Arok harus menunggu - dengan hati yang tak pernah tenteram - hari saat Anusopati akan menuntut balas dari suatu alur dendam historis. Ken Arok tidak bahagia untuk meneruskan kekuasaannya, tapi juga hampir mustahil - kecuali untuk pamit palastra - untuk berhenti. Ken Arok boleh meminjam tangan Kebo Ijo, tapi mata sejarah tidak pernah buta terlalu lama. Ini simalakama bagi Ken Arok sendiri, tapi juga seluruh rakyat Singosari. Sebab, di tangan "titisan Wisnu" itu tergenggam seluruh keterkaitan konteks segi-segi dalam pembangunan dan kesejahteraan.

Untung kita tidak hidup di Singosari. Tapi, berapa jumlah Ken Arok di muka bumi? Ken Arok bukanlah sekadar anak nakal dari desa. Ia adalah bagian strategis dari suatu kelompok yang bertarung di sekitar Balairung. Balairung itu berdomisili di luar pengetahuan rakyat.

Kisah tentang Ken Arok tidaklah sekadar kerangka legenda dan mitos-mitos kekuasaan. Ia berkekuatan lengkap: alur-alur kekuatan militer dan sipil, konstelasi, koalisi, friksi-friksi - yang bahkan para pakar sejarah sekalipun terlalu lugu untuk menajami dan mencermatinya.

Kesalahan sejarah terbesar dari kisah "abadi" ini adalah direbutnya keris Empu Gandring ketika masih dalam keadaan prematur. Itu keris dijadikan monoideologi dalam peta kekuasaan Singosari, tidak sebagai ideologi itu sendiri, melainkan sebagai instrumen politik, atau lebih sempit lagi: sebagai alat ketimpangan kelompok.

Padahal, keris itu masih prematur. Anusopati dendam kepadanya, tapi juga menerimanya, justru untuk alat suksesi berikutnya. Demikian juga anak Ken Umang . . . Masya Allah! Pantas kawulo alit macam kita ini - daripada pusing-pusing, memilih gengsot dangdut, bikin aliran sekte agama tolol, atau beli nomer.

Kalau kenyataan alam dan realita sosial memungkinkan, serta jika Allah mengizinkan: hal-hal itu akan terungkap tahun depan melalui pementasan besar yang melibatkan pekerja teater dari Yogya, Jakarta, Surabaya . . . !

9 September 1990

- Kiai Sudrun Gugat -

Cak Nun - Sebuah Kumpulan TulisanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang