Chapter 09

10.7K 760 8
                                    

Radha memegang erat tas yang dikenakan abangnya. Jalanan Jakarta hari ini tidak macet, tumben. Dia diam menikmati semilir angin pagi yang sejuk.

Perang dingin sama Azzam masih berlanjut. Radha menunggu sampai abangnya itu mengalah dan minta maaf.

Azzam memberhentikan motornya tidak tepat di depan gerbang, seperti biasanya. Radha turun dan berjalan tanpa pamit.

“Heh!” tegur Azzam. Radha berhenti dan berbalik dengan malas.

Laki-laki itu merogoh saku jaketnya. Lalu, dia menyodorkan uang lima puluh ribu. “Nah buat beli kuota,”
Radha menghampiri dengan ekspresi datar dan mengambil uang tersebut.

“Makasih,” ucapnya jutek.
Azzam menarik pelan kerudung adiknya. Dia terkekeh. “Cengeng!” ejeknya. Radha tak membalas, dia berlalu pergi masuk ke dalam sekolah.

Azzam tersenyum tipis. Walau pun dia sering berantam dengan Radha bukan berarti dia benci adiknya itu. Malah dia sangat sayang. Masih ada rasa tak rela, tahu kalau lulus SMA adiknya itu akan menikah.

***

Sekolah berbasis agama bukan berarti semua anaknya suci. Mereka tetap sama saja, suka mengghibah. Radha tebal muka saja walau ada yang terang-terangan membicarakan dirinya.

“Itu bukan si yang katanya mau nikah?”

“Hamil gak tuh,”

Lama-lama panas juga kuping Radha. Dia atur nafasnya yang memburu saking emosinya. Ditambah matanya memburam karena air mata. Disapunya mata dengan kasar.

Masalah hidupnya sudah banyak, dia lelah kalau ada yang cari masalah lagi dengannya. Kenapa tidak urus saja urusan sendiri?

Radha mempercepat jalannya. Ketika masuk kelas teman-temannya sudah berkerumun. “Kita bisa jelasin-“ Radha acuh, melewati tanpa membalas.

Teman-temannya mengikutinya hingga tempat duduk. “Umi jangan marah,” bujuk Wati. Radha mengetatkan rahangnya, air matanya mengalir lagi. Tiba-tiba saja merasa sesak.

“Umi, Indra tu yang nyebarin.” Kata Tyas. Indra yang ada disana menggaruk kepalanya, bingung bagaimana menjelaskannya.

“Minta maaf lo!” Hanum mendorong-dorong bahu Indra. Yang lain juga ikutan.

Indra mendekat. “Gua minta maaf ya, Dha? Gua dipaksa sama anak OSIS, sumpah.” Indra menjelaskan. Radha menghapus air matanya kasar. Kalau di ingat-ingat Radha jadi lebih sering menangis akhir-akhir ini.

“Dha...maafin gua ya?” kata Indra lagi.

“Lo taukan itu privasi?” Radha berucap dengan suara bergetar, matanya yang sembab menatap Indra. Indra merasa bersalah. Dia sudah membuat anak orang menangis.

“Gua cerita ke kalian karena gua percaya. Tapi kalian ngelewatin batas! Wajarkan kalau gua marah?” nada suara Radha meninggi.

“Maaf ya, Umi?” kata Wati. Bahu Radha naik turun, dia menangis lagi.

Perempuan itu melangkah keluar kelas. Dia memilih bolos jam pertama. Rasanya dia ingin berhenti sekolah saat mata-mata dan mulut-mulut orang itu mencibirnya. Radha tak pernah menyangka akan begini jalan hidupnya.

Raihan yang baru datang menatap sosok Radha yang berjalan menjauh. Pasti perempuan itu sangat kacau saat ini. Dia sudah baca seluruh chattingan di setiap grup, isinya membicarakan perempuan itu.

Pasti berat untuknya.

***

Mendadak Khitbah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang