PART DUA

7 0 0
                                    

Langkah Kenzi semakin mantap,ketika ia menyadari itu sungguh Yuki. Dia bahkan tersenyum kegirangan, hingga para kolega Ayahnya melihat dengan wajah penasaran dan mengernyitkan dahi.
"Apa yang kamu lihat Kenzi?" Tanya Pak Gani.
Om sekaligus rekan kerjanya di salah satu pemegang saham perusahaan Nissin di Semarang.
"Om, gimana dengan tempat pertemuannya kali ini?." Tukas Kenzi mengalihkan pembicaraan.
" Apa masih ada yang kurang untuk tempat dan penataannya?" Cerca Kenzi.
" Semuanya lumayan kog Ken !."Kalo udah nggak ada keluhan aku tinggal bentar ya Om." Jawab Kenzi berlalu pergi.

Sembari meninggalkan Om Gani dan teman kolega  Ayahnya yang lain. Kenzi berusaha mencari keberadaan Yuki, yang tadi sempat berada di depan pintu Hall. Namun Kenzi kehilangan jejaknya. Kenzi pun menuju ke basement, dan berusaha mencari keberadaan Yuki dengan kaos hitam dengan dua kancing dan apron warna merah hati yang dikenakan pada tubuh mungil Yuki. Namun tak juga didapati gadis mungil dengan kulit sawo matang itu di basement. Pandangan Kenzi menuju pintu keluar masuk lahan parkir bllasement, dengan  hem warna coklat dengan motif batik, sepatu kets warna hijau tua bertali rapi, rambutnya ia belah pinggir ke kanan menutupi dahinya dengan sedikit poni tipis. Dijumpainya berjajaran pohon mangga  yang berbunga sebagian, di antara kursi kayu  taman kecil di halaman Hall Anjani berada. Tiba - tiba pandangan Kenzi tertuju, pada gadis yang ingin ia jumpai berusaha menyeberang menuju Cafe di seberang jalan. Nuansa etnik cafe dan lampu warna ke oranye - oranyean menerangi kursi cafe dengan cahaya minim di dalamnya.

"Yukiii... !!". teriak Kenzi lantang.
Yuki berasa mendengar ada yang memanggil, tapi diabaikannya. Dan tetap mengarah pandangan matanya berpusat pada cafe yang mulai padat pengunjung. Karena jam makan siang sudah tiba, banyak pengunjung datang dan pergi secara bergantian. Apalah daya, Kenzi setengah putus asa, karena Yuki tak mendengar teriakannya. Karena jalanan kota selalu padat setiap harinya, apalagi ini di akhir pekan. Banyak beberapa pekerja pabrik di Kota Semarang yang pulang kampung. Kenzi menghela napas gusar. Lengan panjang berkancing dengan motif batik itu, terasa diguyur air sungai dengan cuaca panas yang kian menyengat. Kenzi pun memutuskan untuk kembali ke Hall lagi menemui Om Gani dan juga kolega Ayahnya yang lain. Om Gani yang sedang duduk santai bersama kolega rapat yang lain menanti kembalinya Kenzi yang entah dari mana. Disandarkannya punggung penuh keringat berselimut angin di dalam Hall Anjani. Om Gani yang melihat tingkah keponakannya, yang gusar dan sedih pun, dihampirinya. Ditepuknya bahu Kenzi dengan perlahan.

" Kamu dari mana Ken?". Om Gani singkat

Kenzi menatap sekilas ke arah Om Gani, dengan gelisah dan menundukkan kepalanya, diusapnya keringat yang ada di dahinya. Dengan bersikap tenang, menata suasana hati kembali seperti sedia kala. Mengatur tempo napas setenang mungkin dan menjawab pertanyaan dari Om Gani.

" Kenzi hanya berjalan mengeliling, melihat bagian luar Hall Om. Seperti lampu taman yang masih berfungsi atau tidak. Lalu, bangku taman yang masih layak untuk di dudukin atau gak. Sekedar itu aja kog Om." Jelas Kenzi tenang .

Om Gani pun hanya bisa bernafas lega, melihat sikap dan temperamen Kenzi yang di usia remaja harus menanggung beberapa pekerjaan yang seharusnya masih menjadi tanggung jawab Ayahnya.

" Syukurlah Ken, kalau kamu gak papa. Om hanya takut kalau kamu memang gak sanggup. Om hanya minta bantuin hal yang sederhana saja." Jelas Om Gani.

Senyum Kenzi pun nyata, walau terasa berat di antara rona wajah kecewanya. Di luar Hall, sudah ada Yuki dan juga Deni dengan segala persiapan untuk tiga jam ke depan. Sesuai ucapan Anjani, dia tiba sebelum jam tiga. Jam dua lebih lima puluh lima menit, Anjani tiba di Hall dengan gaun merah hati dengan panjang selutut, dan sepatu pantofel dengan heels tebal, ukuran panjang hanya sekitar 5 cm. Tidak tinggi dan juga pendek, berukuran sedang dengan warna coklat mocca yang sepadan dengan warn kulit Anjani. Disana juga sudah ada Yuki dan Deni untuk serah terima pekerjaan dengan Anjani. Namun apa daya, Anjani malah menawarkan upah lebih demi acara di Hall. Karena ternyata ini, acara Kenzi dan juga Anjani. Tanpa Kenzi duga, jalannya acara akan seperti ini. Yang ia tahu, ini hanya serah terima jabatan antara Ayah Kenzi dan Om Gani. Namun itu semua di luar ekspetasi Kenzi. Sudah banyak tamu, dari keluarga Anjani dan juga Kenzi. Kenzi yang tahu kondisinya hanya bisa pasrah. Disisi lain dia menjaga perasaan Ayahnya dan juga perasaannya sendiri untuk Yuki. Dalam pikiran Kenzi, ketakutan jika Yuki melihat semuanya. Bagaimana dia menjelaskannya.

" Anjani, sini panggil salah seorang wanita paruh baya berusia 45 tahun.

Delia Ibu Kenzi dan seorang pria dengan kursi rodanya, namun setengah badannya lumpuh total pada bagian anggota badan di sebelah kiri yang masih dalam  tahap pemulihan, yakni Ayah Kenzi. Tersimpul garis senyum Anjani dan juga Kenzi yang saling berbalas jabatan tangan. Dari arah pintu Hall Deni dan juga Yuki masuk menuju meja prasmanan. Kenzi panik, jika netra coklat Yuki melihat sekeliling dan terpatri pada dua keluarga yang saling membicarakan soal perjodohan antara Anjani dan juga Kenzi.

Kenzi hanya bergumam dalam hati.
" Kepergianku tanpa kejelasan saja, sudah membuatnya acuh. Apalagi untuk kali ini, bahkan seorang gadis atau entah wanita. Mungkin dia seumuran denganku, aku bahkan tak mengenalnya." Batin Kenzi melihat sosok Anjani didepannya saat ini.

Anjani hanya tersenyum bahagia, ketika dijodohkan orang seperti Kenzi. Walaupun dia DO, dari kampusnya tempat ia mengenyam ilmu selama ini. Ayah mempercayakan Anjani untuk membuka usaha cafe dan Wedding Organizer dan juga Event Organizer yang sudah turun temurun saat Anjani masih sekolah dasar.

" Sore Bu Delia?." Sapa Ibu Mila. Ibu dari Anjani.
" Sore Pak Ibra,"  jabat Ibu Mila."
" Sore Bu Mila," sahut Ibu Delia dan Pak Ibra bersamaan.

Dalam hati Delia, dia mulai kesal karena Mila tak ikut menjabat tangannya dan malah mengabaikannya. Bahkan netra Mila, terpatri pada pria 65 tahun di kursi roda dan menjabat pria yang sekarat.

" Mila terima kasih, kamu masih berkenan. Maaf jika merepotkan." Lirih Pak Ibra.

" Tidak ada yang dibuat repot Pak. Lagipula ini hanya perkenalan biasa dulu, mudah - mudahan Anjani menyukai Kenzi." Jelas Mila menepuk punggung tangan Ibra pelan.

Pertanda ia menyetujui dan mendukung penuh perjodohan bisnis ini, walaupun tidak dilandasi cinta antara keduanya. Mungkin di tahun mendatang cinta itu benar - benar ada. Anjani pun menghampiri Ibunya, menyimpulkan senyum di wajahnya.

Dante dan Yuki Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang