[7] Blame it On the Rain

65 9 1
                                    

Yang namanya hidup, tidak ada yang mulus-mulus saja. Pasti suatu waktu, ada saja badai yang menerjang sebelum akhirnya surut. Atau kebalikannya, awalnya air sungai tenang begitu damai, eh tiba-tiba tanpa ada pemberitahuan terjadi badai besar.

Untuk kondisi Lani saat ini, mungkin ia sedang mengalami kejadian kedua. Entah kenapa rasanya waktu yang mereka lewati begitu cepat berjalan.

Tiba-tiba saja Lani baru saja menyadari bahwa sudah genap seminggu ia mengerjakan tugas Bahasa Indonesia bersama Rinan setiap pulang sekolah. Tentu saja bagi Lani itu adalah anugerah. Walaupun kadang-kadang rasa grogi dan nervousnya masih belum hilang, tetapi setidaknya ia sudah mulai terbiasa berbicara dengan cowok itu.

Tapi yang namanya anugerah, tetap saja ada juga yang namanya musibah. Seperti sekarang. Bel pulang sekolah sudah berbunyi lima belas menit yang lalu. Rinan menunggunya di kelas seperti biasa, sedangkan Lani ijin ke toilet untuk menunaikan sunnah Rasulullah. Seharusnya semua berjalan lancar. Ia kembali dari toilet ke kelas. Lalu mengerjakan tugas bersama Rinan sampai akhirnya mereka pulang ke rumah masing-masing.

Sayangnya semua itu hanya ada di dalam angan-angan Lani saja. Siapa yang menduga ketika selesai dari toilet ia langsung dihadang tiga orang cewek yang merupakan teman sekelasnya lalu diseret kembali ke dalam toilet.

Lani tersudut. Ketiga cewek itu berdiri di depannya sambil berkacak pinggang. Mendadak, Lani merasa jadi tokoh protagonis di Sinetron kacangan kesukaan ibunya.

“Gue tahu elo emang sekelompok sama Rinan. Tapi bukan berarti lo bisa seenak jidatnya memonopoli dia seorang diri. Lo tahu, ‘kan peraturannya? Rinan milik bersama!”

Oke. Jadi ini yang namanya pelabrakan? Lani pikir kejadian seperti ini hanya terjadi di sinetron atau film-film saja. Mencengkram roknya diam-diam, Lani menunduk.

“Ta-tapi gue gak—“

“Alah! Apanya yang enggak!” salah seorang cewek berambut pendek maju selangkah. Tangannya mencengkram kerah Lani. Matanya melotot galak seolah mau keluar dari sarangnya. “Lo pikir kita gak tahu apa?! Lo hobi modus ngajakin Rinan kerja kelompok bareng tiap pulang sekolah. Lo sengaja, ‘kan?”

Lani mendelik. “Ka-kalian salah paham!” lagian yang ngajakin kerja kelompok bareng tiap pulang sekolah itu bukan gue, tapi Rinan!

Kedua cewek yang lain maju. Wajah mereka berkerut dengan mata melotot tajam. Lani curiga mereka kembar atau operasi plastik. Kok bisa wajah lagi marah bisa mirip banget gitu.

“Lo masih berani ngelak? Heh! Denger ya! Lo gak pantes buat Rinan! Jadi mending sekarang lo nyerah daripada nanti kena akibatnya. Ini perintah, bukan—“

“Lo pikir lo sendiri pantes buat Rinan?”

Empat kepala menoleh cepat, termasuk Lani. Sosok Cindy berdiri di depan pintu sambil melipat tangan depan dada. Dengan santai cewek itu berjalan mendekati mereka.

“Gue kasih kalian tiga pilihan,” Cindy menarik tangan cewek berambut pendek itu dari kerah baju Lani. Lalu menatap mereka bertiga satu-persatu. “Pertama, pulang ke rumah masing-masing. Anggap semua ini gak pernah terjadi dan jangan ganggu Lani lagi,” diambilnya tangan Lani, lalu ia membawa sahabatnya itu ke belakang tubuhnya. Melindunginya dari tatapan beringas ketiga cewek pelabrak tadi.

“Kedua, gue lapor bu Puja.”

Tercekat, ketiga cewek itu melotot.

Cindy tersenyum tipis, “Dan yang terakhir, kasih muka lo ke gue biar gue tonjokin satu-satu.”

Mendadak, wajah ketiga cewek itu lebih pucat daripada sebelumnya. Panik, mereka saling berpandangan.

“Yuk, cabut!” sebelum pergi, cewek berambut pendek tadi kembali menoleh ke arah Lani. “Camkan kata-kata gue!” ancamnya.

TENTANG KAU DAN HUJAN //✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang