1/1

15 1 0
                                    

Terima Kasih, Jakarta

Di tengah perjalanan yang aku tak tahu tujuannya, aku menggerutu kesal pada diriku sendiri. Kenapa aku berani-beraninya pergi keluar rumah tanpa Tante Ria, Om Wisnu atau sepupuku yang lain? Aku benar-benar ceroboh.

Astaga, ini Jakarta! Kota yang baru kusinggahi seminggu yang lalu, bahkan aku tidak tahu jalan pulang ke rumah Tanteku. Ditambah lagi ponselku yang mati membuat aku semakin ingin menyeburkan diri ke got yang ada di samping trotoar yang sedang kutapaki. Oh, tolong, siapa pun, selamatkan aku!

Ini semua bermula ketika aku-Kirana, si gadis enam belas tahun yang sangat ceroboh-datang ke Ibu Kota seminggu yang lalu. Waktu itu, Om Wisnu dan Tante Ria berkunjung ke rumah orang tuaku yang ada di Bandung. Ketika mereka mengetahui bahwa hari itu adalah hari pertama aku libur sekolah, mereka mengajakku untuk ikut ke Jakarta, katanya ayo-liburan-di-sana.

Aku sih, mau-mau saja menghabiskan waktu liburan semesterku bersama sepupu-sepupuku di sini, hitung-hitung cari suasana baru juga. Tapi seminggu sudah aku ada di Jakarta, nyatanya aku tidak ke mana-mana, sepupu-sepupuku malah pergi bersama teman-temannya. Katanya sih, sudah punya rencana sejak sebelum liburan di mulai, kalau tahu begitu aku kan, tidak akan ikut ke sini. Seminggu berdiam diri di Jakarta, hanya memandangi lalu-lalang orang-orang di sekitar rumah Om dan Tanteku, makan, tidur, mandi, dan kadang membantu Tante Ria beres-beres rumah ternyata membosankan juga.

Maka dari itu, hari ini aku memutuskan untuk berjalan-jalan. Mengandalkan internet, Google Maps, dan ojek online, aku memberanikan diri ke luar rumah sendirian. Walaupun tadi Tante Ria menawarkanku untuk ditemani olehnya, tapi karena aku adalah keponakan yang budiman, maka aku menolak dengan halus tawaran Tante Ria karena aku tahu sebenarnya beliau sedang sibuk mengurus tokonya. Tapi sekarang, aku menyesal tidak menerima tawaran Tante Ria, tahu begitu lebih baik aku tidak menjadi keponakan yang budiman saja.

Sambil berjalan mengikuti arah trotoar yang dipenuhi pedagang, aku mengingat-ingat, apakah aku tadi melewati jalan ini bersama mas-mas ojek online? Aku merasa melewatinya, tapi aku merasa tidak melewatinya juga. Aku jadi bingung sendiri.

Sebenarnya bisa saja aku bertanya pada orang-orang aku harus naik angkutan apa kalau mau ke daerah tempat Tanteku tinggal. Tapi, sayang sekali, Kirana gadis enam belas tahun yang ceroboh dan merupakan keponakan yang budiman ini sama sekali tidak mengetahui daerah tempat Tantenya tinggal selain dia hanya tahu bahwa Tantenya tinggal di daerah Jakarta Selatan. Hebat sekali kan, aku ini.

Hari sudah mulai sore, perutku lapar dan aku belum menemukan titik pencerahan, sampai aku menemukan sebuah warung nasi padang. Aku memutuskan untuk mampir di warung nasi padang terebut, selain karena bau masakannya yang begitu menggoda, aku rasa harga masakan di warung ini tidak terlalu mahal, dan oh, ya! Kenapa tidak terpikir dari tadi? Kenapa aku tidak menyinggahi warung makan saja, sambil makan kan aku bisa sambil ikut mengisi daya baterai ponselku!

Bodohnya aku.



Perutku sudah kenyang, ponselku juga sudah terisi dayanya-walaupun tidak full, tapi lumayanlah. Akhirnya aku memutuskan untuk pulang setelah membayar makananku. Saat aku sedang membayar, aku melihat seorang laki-laki yang juga sedang membayar di sampingku. Tapi, aku merasa aku mengenal dia.

Aku berdehem, kemudian berkata pada laki-laki itu (semoga saja dia benar-benar orang yang memang ku-duga-kenal). "Maaf, kamu kenal aku nggak?"

ABSURD SEKALI KIRANA!!

Diriku berteriak dalam hati. Pertanyaan macam apa itu, astaga!

Tapi, walaupun begitu, laki-laki tersebut tetap menoleh ke padaku sambil memerhatikanku. "Kamu... keponakannya Bu Ria?" tanyanya terlihat ragu.

Oh ya ampun, bagai menemukan oasis di tengah gurun, aku benar-benar bersyukur singgah ke sini sampai akhirnya bisa bertemu dengan dia!

Dengan cepat dan semangat aku pun mengangguk, "Iya-iya, bener banget! Aku keponakannya Tante Ria. Kamu tahu arah jalan pulang, kan?"

Oke, itu juga pertanyaan macam apa Kirana Lestari? Aku benar-benar merutuki pertanyaan yang keluar dari mulutku.

Aku melihatnya terkekeh, kemudian mengangguk satu kali. "Ya tahu, lah."

Setelah berkata demikian, laki-laki yang belum kuketahui namanya itu memberikan beberapa lembar uang pada Mbak-mbak yang ada di hadapan kami.

"Kamu mau pulang, kan? Aku boleh ikut, ya? Aku nggak tahu jalan pulang," kataku padanya saat kami keluar dari warung nasi padang terebut.

Omong-omong, kenapa aku bisa mengenali wajahnya, sebenarnya kami pernah bertemu beberapa kali di daerah rumah Tanteku. Rumah kami bersebrangan. Kadang aku melihatnya ketika aku sedang menjemur cucian atau menyiram tanaman yang ada di halaman depan rumah Tanteku. Walaupun ingatanku tidak bagus-bagus amat, nyatanya aku berterima kasih pada otakku yang masih bisa mengingat wajahnya.

Setelah aku mengatakan hal itu, dia menatapku heran. Sedangkan aku yang ditatap hanya menghembuskan napas kesal, lalu menceritakan padanya bagaimana bisa aku berada di sini. Sebenarnya cukup aneh bagiku yang mau-maunya cerita pada orang yang baru kukenal. Tapi, ya sudahlah, lagian tidak rugi juga bercerita padanya.

Sambil bercerita, kami menunggu bus di halte. Kata dia, jika mau pulang ke daerah kami, kami harus menaiki bus satu kali kemudian berjalan kaki sekitar lima ratus meter. Sesimpel itu ternyata untuk sampai ke rumah Tante Ria. Tapi, walaupun sesimpel itu, kalau tidak tahu, tetap saja aku tidak bisa pulang.

Lima belas menit berlalu, akhirnya bus yang kami tunggu-tunggu datang juga, langsung saja kami naik ke bus tersebut yang ternyata penuh sekali sampai-sampai kami tidak kebagian kursi untuk duduk.

Aku memegang pegangan yang menggantung di atas. Sialnya, laki-laki yang ternyata bernama Rama itu malah tersenyum geli kepadaku gara-gara aku kesulitan untuk memegang pegangannya. Tolong, salahkanlah saja tinggi badanku yang bahkan tidak mencapai 150 cm.

"Sini, pegangan sini aja," kata Rama sambil memindahkan tasnya ke depan.

Aku memindahkan peganganku pada tas Rama yang tentunya lebih mudah kugapai sambil tersipu malu.

Selama satu jam perjalanan, aku terus berpegangan pada tas Rama. Pun dengan Rama yang tetap menghadap kepadaku. Selama satu jam perjalanan itu juga kami banyak bercerita. Senang sekali rasanya bisa bertemu dengan Rama hari ini.

Jika tadi aku menganggap bahwa hari ini adalah sebuah kesialan, sebuah kesalahan, dan sebuah kecerobohan. Detik ini aku mensyukuri segalanya-mensyukuri seminggu yang lalu aku ikut bersama Tante Ria dan Om Wisnu ke Jakarta, mensyukuri melihat Rama di halaman rumah, mensyukuri tersesatnya aku di Jakarta Selatan.

Tanpa seminggu yang lalu, tidak akan pernah ada hari ini. Tanpa seminggu yang lalu aku tidak akan pernah bertemu dan mengenal seorang Rama.

Terima kasih, Jakarta.

[S E L E S A I]

a.n

i know ini tuh apaan bangedd, tapi yaudah lah yaaaa pengen nyoba nulis beginian

08 oktober 2018
(btw tanggal syantik ya:v)

sampe ketemu dicerita selanjutnya! dadahhh

Terima Kasih, JakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang