Subjektivisme Bawakaraeng (1)

46 1 0
                                    

Pasti Anda sudah pernah mendengar berita tentang Gunung Bawakaraeng, tempat sebagian kecil kaum Muslim di Sulawesi Selatan "naik haji". Itu salah satu "kopi sulsel" yang ingin saya suguhkan ke meja pagi hari Anda.

Gejala itu nyleneh dari sudut fiqih agama, tapi tidak jika dipandang dari sudut-sudut lain dari kenyataan kehidupan. Di puncak Bawakaraeng, mereka menjalankan "rukun-rukun haji", dan terakhir banyak yang mati segala.

Mungkin roh-roh mereka bersyukur oleh kematian itu. Mati ketika beribadah, mati ketika berhaji, mati syahid, kan? Seperti kisah tentang seorang Haji yang berulang kali pergi haji karena penasaran ingin mati. Ketika berdesak-desakan di sekitar Ka'bah, ia bergumam gembira: "Alhamdulillah! Alhamdulillah!" Ia terimpit, terjatuh, terinjak, "Alhamdulillah! Alhamdulillah!" Namun sampai chaos itu usai, ternyata ia tak mati.

"Ya Allah kekasih! Apakah hamba belum pantas menghadap-Mu? - ia merasa begitu sengsara, seperti seorang pemuda puber yang ditolak cintanya oleh gadis permata hati.

Maka ia ulangi lagi pergi haji. Lagi dan lagi. Didesak-desak lagi, diimpit lagi, jatuh lagi, diinjak lagi, dan tak mati lagi. Akhirnya tak mampu lagi ke Makkah: pakai duit Wak Gusnya siapa memang?

Maka di setiap musim haji, ia kirim hatinya ke Makkah. Ia rasuki 'magi' Tanah Suci. Ia rasakan impitan tindihan injakan itu, seolah ia sungguh-sungguh berada di sana. Maka tatkala ia dipanggil Allah betul, di dusunnya - tidak di Makkah - ia memiliki bekal perasaan yang sama untuk bersyukur.

Itu, kalau tak salah, namanya subjektivisme.

Tapi berbeda dengan subjektivisme Bawakaraeng. []

- Secangkir Kopi Jon Pakir -

Cak Nun - Sebuah Kumpulan TulisanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang