"Makannya pelan-pelan, Kay," ujar Reres sambil memberi minum pada Kay yang tersedak. Setelah Kay tenang, Reres menyuapinya lagi. Mereka selalu makan bersama dengan Kay yang duduk di kursi makannya sendiri.
Jika Reres sibuk makan sendiri sambil menyuapi Kay, maka Saga sibuk memperhatikan Nay yang belajar makan sendiri. Semua sudah ada tugas masing-masing dan hebatnya Saga tak pernah mengeluh akan hal itu. Ia malah senang karena bisa andil dalam hal yang merepotkan itu. Karena secara tidak langsung ia ikut bekerja keras dalam masa keemasan kedua anaknya.
"Kay mau makan apa?" tanya Reres yang sekarang memberi setengah centong nasi pada piring khusus Kay. "Mau ayam?" Kay menggeleng. "Ikan krispi?" Kay mengangguk.
"Apa kamu tidak bisa masak yang lain? Kenapa anak-anak dari makanan dikasih tepung-tepungan? Itu kan nggak sehat." Nindi memerhatikan menu Nay dan Kay. Keduanya makan tepung kriuk dengan sayur bening. "Apa uang Saga kamu buat lainnya? Beli baju big size-mu mungkin."
"Bu--" Saga berhenti ketika Reres melotot padanya. Wanita itu menendang kaki suaminya yang berada tepat di seberangnya. Biar dia yang bicara.
"Kemarin itu ayam fillet, Bu. Dan sekarang ini ikan fillet yang saya kasih tepung krispi. Selain mengandung banyak protein, lemaknya juga sedikit. Jadi mereka tidak akan gemuk. Saya juga kasih sayur supaya mereka sehat meski kadang ditolak," jelas Reres. Memberikan sendok pada Kay, tapi tangan anak itu sudah mengambil tepung krispi yang menutupi ikan.
Nindi mendengus. Ia makan dengan cepat dan kasar membuatnya tersedak. Nay segera bangkit dan memberikannya minum.
"Oma, kata Mami kalau makan pelan-pelan."
Saga dan Reres tersenyum haru. Nay berhasil mengikuti apa yang ia contohkan. Saga mengusap rambut anak itu. Ia bangga karena Reres berhasil mengajarkan satu hal baik lagi pada putrinya. Jadi, berikan Saga alasan untuk tidak suka Reres meski tubuhnya gemuk.
"Kamu pinter, sayang," ujar Saga mencium kening Nay.
Setelah sarapan bersama itu, rumah sepi karena hanya ada Nindi. Sedangkan yang lain sudah berangkat dengan urusan masing-masing. Ia menatap foto pengantin Reres yang saat itu terlihat cantik sekali dengan tubuh seksi, tak lama ia berdecih saat mengingat bentuk tubuh Reres saat ini.
Nindi bergerak ke ruang keluarga, menyalakan televisi saat terdengar mobil Reres memasuki halaman. Wanita itu seolah fokus pada benda yang menyala di depannya.
"Kay, duduk sini," panggil Nindi pada Kay yang berlari. Berputar-putar dengan bola di tangan. Sesekali anak kecil itu tertawa. Tidak menangis meski jatuh. Ia kembali bangkit dan mengambil kotak mainan yang diletakkan di sebuah box.
"Kay mau mainan?" tanya Reres saat sudah berganti baju. Daster adalah pakaian paling nyaman untuknya. Hari ini ia tidak ada pekerjaan. Mungkin lusa atau besok ia kembali bekerja. Jadi, sekarang ia memusatkan perhatian pada Kay dengan mengajaknya bermain bersama.
Kay mengangguk saat ditanya Reres. "Mau mainan apa?" Kay mengambil sebuah lego besar yang bisa disusun. "Mau buat apa, Kay? Coba Kay ikuti Mami. Ru-mah. Lihat mulut Mami, Kay. Ayo ikut. Ru itu mulutnya maju, Kay. Dan Mah mulut Kaya dibuka lebar. Ayo ikuti Mami."
Kay menirukan Reres. Keluar kata meski suaranya kecil dan Reres terus mengulanginya, tapi Kay mau mengikuti hanya di percobaan satu dua dan tiga. Karena berikutnya anak itu sudah asik bermain lagi. Akan marah jika diganggu dan diajari Reres.
Reres maklum karena seusia Kay itu mudah dan susah untuk diajari. Keduanya bermain di ruang keluarga setelah mengantarkan Nay sekolah. Mengajak Kay bermain membuat istana, kereta dan boneka dari dadu yang disusun. Semua itu untuk mengedukasi sensor motorik Kay.
"Itu karena kamu sibuk bekerja makanya Kay belum bisa bicara. Beda sama Nura. Dia umur satu tahun enam bulan sudah lancar. Bicaranya sudah banyak. Sudah cerewet."
Reres tidak menanggapi ucapan mertuanya yang memang selalu menyakitkan dan menyudutkan dirinya.
"Atau mungkin Kay bisu. Coba saja Kamu periksakan. Saga ada uang, kan? Eh, tapi kamu kan kerja, pasti uang kalian banyak. Dan atas kamu harus bertanggung jawab atas kekurangan Kay," kata Nindy ketus.
Reres menggenggam mainan lego Kay dengan sangat erat sehingga sakit di telapak tangannya begitu terasa. Bukan hanya itu, bekas mainan lego nampak jelas. Sejenak ia memejamkan mata. Mengeluarkan dan mengambil nafas. Mencoba meredam amarah atas kalimat menyakitkan lagi dari mertuanya.
"Kay normal, Bu. Cuna pertumbuhannya yang terlambat," jelas Reres dengan lembut.
"Normal apanya? Bicara aja nggak bisa, kok, dibilang normal!"
"Bukan nggak bisa, Bu. Tapi belum. Kay belum bicara lancar." Reres menekankan ia tau anaknya sehat hanya butuh waktu.
"Apa bedanya? Buktinya dia kalau ditanya cuman bisa geleng dan angguk atau kalau nggak Cuma diam saja. Beda sama Nura. Anak Indi itu sudah cerewet sekali. Sampai panas kuping Ibu. Dia sudah bisa cerita dan bertanya ini itu," ujar Nindi yang semakin lama ucapannya semakin panas. Membuat Reres berkali-kali mengambil nafas lalu membuangnya.
Nindi malu. Dalam hati ia sangat menyesali keputusannya menyetujui pernikahan Saga dengan Reres. Memang dulu ia begitu cantik dan seksi, tapi lihat sekarang. Sudah gendut, cucunya bikin dia malu saja.
Nindi masih memerhatikan kegiatan menantu dan cucunya. Keduanya berkomunikasi dengan baik. Hanya saja Kay tidak mengeluarkan sama sekali. Hanya kata yang tidak jelas. Kadang menggeleng dan menangguk. Jika tidak cocok maka ia akan menangis.
"Bisanya nangis terus. Nura, dong. Bisa diajak bicara baik-baik." terus saja Nindi membandingkan dengan Nura, anak dari Kaka Saga.
Reres sudah tidak kuat. Maka ia memutuskan untuk pergi. "Kakak Nay sudah pulang, Dek. Ayo kita jemput!" Kay berdiri dengan antusias. "Adek topiknya mana? Ayo diambil."
Kay berlari mengambil topi yang tadi diletakkan di sofa ketika ia bermain bola. Menyerahkan pada Reres supaya dipakaikan di kepalanya.
"Salim sama Oma dulu, Dek." Reres memerintahkan.
Kay menghampiri Nindi lalu mencium punggung tangannya. Anak itu jelas cerdas. Mengerti semua yang dikatakan sang mami hanya belum bisa bicara. Ia baru saja menginjak usia dua tahun.
"Bu, Reres jemput Nay dulu. Ibu mau dibelikan apa?"
"Nggak, Saya nggak nyemil. Nanti gendut kayak kamu." lagi kata-kata kasar terlontar begitu licin dari bibir Nindi.
Reres hanya diam sambil berlalu. Menaiki mobil ia berhenti di tepi jalan menelungkupkan kepalanya di setir. Menangis dan menjerit sepuasnya. Ia harus menangis mengeluarkan kekesalan dan kemarahannya saat ini. Ia tak tahan lagi. Kesabarannya mencapai batas. Ia juga tidak ingin Saga tahu bahwa ia habis menangis. Ia tidak mau membuat keributan antara ibu dan anak itu.
"Kay, sabar, ya. Kay tetap semangat," ucap Reres mengusap kepala anak itu. Kay menggoyangkan kepalanya senang. "Kay pasti bisa ngomong ya Nak. Ada Mami dan Yayah yang lindungi adek kalau ada yang jahat sama Adek. Kita pasti bantu Adek sampe lancar." Reres terus menangis sambil mengendarai mobilnya.
Ponselnya berdering. Nama Saga terpampang nyata. Reres memilih untuk tidak mengangkat. Ia tidak mau Saga curiga.
"Maaf, Bee. Doakan aku kuat. Doakan aku sabar."
***
.
.
.
.
.
.
😂 Ceritanya emang Indosiar vibe ya Kaka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta 100 Kg
Romance🍓 Update lebih cepat di Karyakasa 🍓 "Bee, ce-petan ish, nan-ti anak-anak bangun," pinta seorang wanita bertubuh gemuk kepada sang suami yang tengah bergerak di belakangnya. Tak peduli dengan apa yang dikatakan sang istri, Saga malah asyik bergera...