Chapter 10

10.8K 660 1
                                    

Radha menenggelamkan kepalanya diantara lipatan kaki. Tangan kanannya memeluk lutut, tangan kirinya mencabuti rumput untuk menyalurkan emosi.

“Kenapa sih dunia gak adil?” gumamnya. Roknya sudah basah karena air mata.

“Kenapa sih mereka semua jahat?” Radha meremas kuat rumput yang ada di tangannya. Pernah tidak kalian merasa saking beratnya beban hidup, ingin mati saja? Radha sedang begitu soalnya.

Seseorang memukul kepalanya pelan dengan sesuatu. Radha mengangkat kepalanya, menatap Raihan yang berdiri menjulang. Laki-laki itu mengayunkan sepack tisu.

Radha mengambil tisu tersebut dan membukanya. Mengambil beberapa lembar, lalu membuang ingus disana. “Sorry,” katanya pada Raihan. Laki-laki itu malah terkekeh.

Dia mengambil tempat duduk yang cukup jauh dari perempuan itu. “Anggap aja ini ujian,” ujar Raihan tiba-tiba.

“Ha?” Radha menoleh.

“Anggap aja masalah yang nimpa lo sekarang itu ujian dari Allah,” Raihan menjelaskan.

Radha terkekeh muram. “Iya sih. Cuma gua ngerasa kok berat banget ya ujiannya?”

Raihan menggeleng beberapa kali, ditatapnya sekilas Radha. “Kalau ringan bukan ujian namanya,”

Radha tertawa sumbang, suaranya jadi bideng saking lamanya menangis. Lalu, mereka terdiam cukup lama. Memikirkan masing-masing yang ada dikepala mereka. Suasana menjadi awkward.

“Lo bolos ya?” akhirnya Radha yang membuka pembicaraan.

“Enggak. Gua izin ke toilet tadi,” jawab Raihan sekenanya.

Radha tertawa. “Tapi taunya nyamperin guakan lo? Ketauan guru bisa berabe,”

Raihan kini menatap terang-terangan. “Khawatirin aja diri lo, kalau ketauan lo bolos bisa-bisa lo di DO.”

Radha menghela nafas, dia menyelonjorkan kakinya, terasa keram. “Gua cuma butuh sendiri aja. Lagian, kita juga bakal kena masalah kalau tau dua-duaan disini. Mending lo balik kelas sana!”

Raihan mendengus. Tapi laki-laki itu tak juga beranjak. “Lo beneran mau nikah ya?” malah membuka topik obrolan baru.

Radha menghela nafas kasar. Dia kembali mencabut-cabuti rumput.”Kalau bisa gua nolak, gua bakal nolak, Han.” Perempuan itu menatap rumput-rumput yang sudah dia cabuti.

“Orang tua lo yang maksa?”

Radha mengangguk beberapa kali. “Ini ibarat kayak hukuman gitu. Sebenarnya udah dari SMP gua diancam bakal di jodohin kalau gak berubah juga. Waktu itu gua gak percaya,” Radha tertawa sedih membayangkannya. “Taunya beneran,”

“Dia cowok yang baikkan, Dha?” Radha menoleh, memperhatikan raut wajah laki-laki itu yang tak biasanya.

“Baik...kayaknya,” Radha sedikit ragu. Dia belum pernah berkenalan resmi dengan Iqbal? Dia juga belum tahu orang seperti apa Iqbal itu. Wajarkan kalau dia ragu?

Raihan manggut-manggut, bibirnya tersenyum tapi matanya terlihat sendu. “Baguslah.”

Radha menyipit. Mendorong bahu laki-laki itu pelan dengan bungkusan tisu. “Lo kenapa dah?” dia terkekeh melihat ekspresi Raihan.

Raihan termagu. Dia bimbang.

“Salah gak kalau gua suka sama lo?” Radha terdiam. Lalu, tertawa renyah.

“Gak lucu becandaan lo. Udah sana balik ke kelas, izinin gua ke UKS sekalian,” jelas Radha sebenarnya deg-degan. Baru pertama kali ada laki-laki yang bilang suka padanya.

Raihan berdiri. Laki-laki itu tersenyum, cukup manis. Dia memberikan tatapan lembut. “Lo harus bahagia pokoknya, gak usah peduliin apa yang gua bilang tadi. Ingat ya, kalau nikah undang gua.”

Radha tak bisa membalas apa pun. Bibirnya terasa kelu. Bagaimana dia tidak memperdulikan ucapan laki-laki itu tadi?

Juga, kenapa harus Raihan yang suka padanya?

***

Mendadak Khitbah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang