11

4.7K 56 3
                                    

Untuk pertama kalinya Willy berkunjung ke rumah kontrakanku setelah beberapa bulan kita menjalin hubungan. Nampak sekali ia sanggat cangung saat masuk rumah, ia tak santai dengan senyum cengengesan seperti biasanya. Ia nampak kaku, kaku yang aneh.

“Wes, santai wae. Aku urip dewe kok nek omah iki. Ra enek pembantu. Ra enek tukang kebon. Kabeh tak urusi dewe,” jelasku agar dia tak cangung. Aneh melihat Willy yang biasanya sesuka hati tampil kikuk seperti itu.

Diatas sofa panjang warna coklat tua Willy memarkirkan tubuh besarnya, mencari-cari asbak di bawah meja lalu mulai menyalakan putung rokoknya saat aku berjalan ke arah belakang rumah.

“Mau minum apa?” tawarku dengan suara lantang, “Bir apa Whisky?”

“Emang disini ada Whisky?”

“Ya adalah,” ucapku sedikit gaya, “anak-anak sering kok buat acara disini, hampir sebulan sekalilah kita mabok sepuasnya,”

“Kamu sering minum sama mereka?” tanyanya sedikit canggung.

“Nggak terlalu, kalau lagi stres aja ngajakin mereka minum disini,” jelasku simple, “lagian aku kalau minum dikit langsung pusing. Bawaannya penginnya tidur terus, jadi kalau mereka bikin acara sampai pagi, bangun tidur aku yang beresin semuanya. Kalau lagi nggak mood minum aku duduk-duduk disamping mereka sambil cerita-cerita gitu,”

“Owh gitu,” jawab Willy sambil manggut-manggut, “yaudah bir dingin aja kalau gitu,”

Tak lama kemudian ia bangkit dari sofa dan berjalan ke ruang tengah. Ia lalu mengamati rak-rak berisi action figur, buku dan film yang menjulang sampai langit-langit rumah. Di depan patung kepala Budha, ia iam cukup lama sampai akhirnya aku datang ari arah dapur sambil membawa nampan berisi wisky dan mangkuk berisi keripik kentang.

“Ini semua koleksi kamu?” tanyanya heran melihat rak yang menjulang tinggi hingga langit-langit rumah.

“Kalau buku-buku itu kebanyakan koleksiku, tapi kalau koridor film sama koleksi action figur itu kebanyakan punya Andi,”

“Terus yang di Reve itu juga punya Andi semua filmnya?”

“Iya, itu punya dia semua,” Ucapku sambil meletakkan nampan itu di atas meja ruang tengah, “Tapi yang di taruh disini khusus buat film-film yang sulit dicari, kebanyakan film festifal soalnya,”

“Wah keren banget ya sampai segini banyaknya,” pujinya tulus, “habis berapa duit ya kira-kira?”

“Wah kalau masalah itu relatif sih Will, tapi kalau udah nyangkut masalah hobby sih, uang nggak ada harganya, ngukurnya pakai kepuasan pribadi sih soalnya,”

“Iya sih Bell, tapi ini banyak banget lho,”

“Lha wong ngumpulinya dari pas zaman SMP dulu kok Will, ya banyaklah. Sorry ya, cuma tinggal keripik doang cemilannya,”

“Udah biasa aja, kaya sama siapa aja kamu Bell. Ada gitar nggak?”

“Ada,” sahutku ringkas, “emangnya kamu bisa main gitar?”

“Weleh-weleh, ngece cah iki. Ngene-ngene mbiyen aku due band lho,”

“Band apaan?”

“Ya band buat seru-seruan aja pas SMA dulu,”

“Lha kenapa sekarang nggak ngeband lagi?”

“Kalau sekarang udah pada sibuk sendiri, aku keluar dari band pas semester dua kalau nggak semester tiga,”

“Lha kenapa keluar Will?”

“Beda prinsip. Klise kan?” jelasnya sambil tertawa. Menertawakan diri sendiri.

Abel & WillyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang